Senin, 05 Desember 2011

Partisipasi BAZNAS/LAZ : Rumus Zakat dan Implimentasi Penanggulangan Kemiskinan

PARTISIPASI BAZNAS/LAZ :
RUMUS ZAKAT DAN IMPLIMENTASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Oleh :
Prof. Dr. Ir.H.  Sahri Muhammad
Universitas Brawiajaya/LAZ Baitul Ummah

1. Masalah Kemiskinan
           Permasalahan kemiskinan menjadi salah satu hal besar yang masih menjadi pekerjaan  rumah pemerintah saat ini. Berbagai program pengentasan kemiskinan dari dulu hingga sekarang terus menerus dilakukan. Demikian pula dengan dana yang digelontorkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas perekonomian, bahkan jumlahnya telah mencapai sekitar Rp. 95 triliun, APBN 2011.
            Biro Pusat Statistik (BPS) melansir data penduduk miskin tahun 2010 mencapai sekitar 31 juta. Jumlah ini dihitung atas dasar definisi bahwa seseorang dikatakan miskin, mengacu perhitungan Bank Dunia, yaitu ketika seseorang tidak sanggup memenuhi kebutuhan kalori standard untuk pangan sebesar 2.000- 2.500 kalori per hari. Jika dihitung dalam satuan penghasilan (rupiah) diketemukan pada tingkat penghasilan sebesar Rp. 270.000, per per bulan, atau sekitar $ 30,- per bulan. Namun , BPS menggunakan indicator lebih rendah, yaitu Rp. 211.726,- atau sekitar $ 24,- per bulan. Sementara itu,  para Ulama Fikih, sebagian membuat  definisi miskin, ketika penghasilannya dibawah  satu nishab (sekitar 93,6 gram emas). Dengan dasar definisi tersebut, definisi miskin menurut ahli fikih, dihitung dengan standard harga emas sebesar sekitar Rp. 450.000,- per gram, maka  tingkat penghasilan penduduk miskin  adalah lebih kecil dari nilai sekitar $. 14,- per hari atau sekitar dibawah $. 312,- per bulan.
             Ini berarti definisi miskin ini perlu didasarkan pada pengertian yang sama. Bangsa ini secara budaya mengenal konsep kesejahteraan  W Telu (wareg, waras dan wasis = cukup pangan, sehat dan cerdas). Konsep global kita menganal  Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang juga diadasrkan pada kecukupan pangan, kesehatan dan pendidikan. Alanggkah arief, jika BPS menggunakan  standar IPM atau W Tiga tersebut, walaupun tidak mengacu pada pendapat Ulama Fikih. Sehingga kita memiliki data base tentang penduduk misdkin yang  baku, betatapapun jumlahnya. Kita tidak perlu  menutupi data jumlah penduduk miskin. Dengan data yang benar, kita lebih terarah dalam mengukur kemajuan pembangunan.
       Dengan dasar perhitungan tersebut, menurut BPS. Penduduk miskin di Negara kita tahun 2010 mencapai 31 juta jiwa (13,33%). Jika dihitung menurut standard Bank Dunia penduduk miskin  di Negara kita bisa mencapai  42 juta orang. Jika dihitung atas dasar definisi yang dilansir oleh para Ulama Fikih, bisa-bisa jauh lebih besar lagi.  Betapapun jumlahnya, yang penting benar. Dan yang jauh lebih penting lagi, adalah penetapan anggaran belanja untuk program penanggulangan kemiskinan, dan juga pilihan kebijakan ekonomi, agar yang kaya (MUZAKI) tetap kaya, dan yang miskin menjadi kaya (MUZAKI). Adalah kewajiban pemerintah untuk menjamin agar  disetting kebijakan ekonomi, agar yang kaya tidak menjadi miskin, karena kalah bersaing secara ekonomi global, akibat kita terperangkap dengan “kebijakan neo-liberal”. Kebijakan neo-liberal pasti akan menjadikan yang “kaya”  menjadi bangkrut, dan bisa-bisa berubah menjadi “miskin”. Masyarakat, disamping membutuhkan kebijakan program penanggulanagan kemiskinan, tapi juga membutuhkan kebijakan politik pembangunan ekonomi yang memungkinkan bangsa ini menjadi berdaya saing dan kaya.
          Gambaran tentang betapa besar anggaran APBN untuk menanggulangi kemiskinan, kita kutif informasi dari Ramadhani Pratama Guna,  berikut :

            Tabel 1.1 : Data anggaran program penanggulangan kemiskinan, APBN 2011
                              (Pratama Guna, Republika-Oktober  2011)

Nomor
Program
Anggaran
Keterangan

1

2
3
4

Peningkatan kualitas dan kuantitas perekonomian
Pendidikan
Subsidi Energi
Pengentasan Kemiskinan
a.      PNPM Mandiri
b.     Kredit Usaha Rakyat
c.      Program Keluarga Harapan (PKH)
d.     Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
e.      Beras Untuk Rakyat Miskin (RASKIN)
f.      JAMKESMAS

95,6 triliun

81,98 trilliun
133,806 trilliun

9,0 trilliun
20,0 trilliun
1,6 trilliun

16,8 trilliun

15,0 trilliun

5,6 trilliun






Jumlah sekitar 68 trilliun






          Sebagaimana telah ditetapkan  dalam UU Zakat 2011, bahwa tugas BAZNAS/LAZ adalah membawa misi/ kewajiban menanggulangi kemiskinan. Hanya saja harus disadari bahwa  dana yang  terkumpul dari hasil pengumpulan zakat dibandingkan dengan penerimaan pajak oleh Negara kira-kira berbanding  2,50% (hasil zakat)  dibanding 87,50% (pajak Negara) dari jumlah pendapatan nasional.

2. Menguak Paradigma Zakat
Dengan dasar hitungan tersebut, tentu tanggung jawab Negara dibandingkan dengan partisipasi  BAZNAS/LAZ  dalam penanggulangan kemiskinan, tanggung jawab negara adalah jauh lebih besar, bahkan pada dasarnya misi menanggulangai kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan misi pertama dan utama Negara.
            Untuk melaksanakan misi pertama dan utamanya tersebut, Negara  memiliki kewajiban pertama dan utama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat  melalui “Paket Kebijakan” peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan sekali-gus. Dalam tulisan ini akan dibahas partisipasi BAZNAS/LAZ dalam implimentasi kebijakan penanggulangan kemiskinan mengacu Paradigma Zakat. Kata paradigma mengacu pada  pendapat Kuhn (1997, dari  Kaurany, 1987 : Scientific Knowledge, tentang value judgment p. 197-226, the function of dogma, p.253 – 265, dan  the necessity of scientific revolution, p. 266 - 275), bahwa dibalik  pemikiran ilmiah , khususnya Ilmu-Ilmu Sosial-Ekonomi tidak bisa terhindar dari  tiga hal, yaitu :
(a)   Sistem nilai dibalik rumusan teori yang dibangun,
(b)  Dogma yang melatar belakanginya dan
(c)   Dinamika pemikiran  yang menjadikan penjelasan teoritik yang didasarkan pada paradigma yang  digunakan, jika ada temuan dan tambahan “data baru”,  maka penjelasan teoritik  akan selalu disempurnakan.
       Sebagai misal, pemikiran ekonomi liberal yang  dicetuskan sejak Adam Smith, kemudian disempurnakan oleh Keynes dan Friedman dengan cara “mengkokohkan” peran negara,  bahwa kapitalisme dan peran Negara digiring dan   dibangun agar berdasarkan system nilai (sekulerisme) , dogma (ekonomi pasar) dan dinamika social-ekonomi kapitalis, sekalipun ada  setumpuk data  lapang menyajikan bukti  adanya “kegagalan pasar”. Namun  para pendukung  system kapitalisme, khususunya para ilmuwannya, tak henti-hentinya  melakukan perbaikan teori dan konsep ekonomi liberal yang diperbaharui (neo-liberal).  Hanya saja,  nyatanya, sekalipun ekonomi dunia  semakin jauh dari system ekonomi pasar, namun pembuat kebijakan Negara terus saja dicekoki  dogma dengan  mimpi “pasar bebas” sekalipun mimpi tersebut semakin menyesatkan, namun tak henti-hentinya tetap ditawarkan, bahkan   sebagai argumen dalam merumuskan  “kebijakan penanggulangan kemiskinan” dengan  jargon “trickle down effects” yang sangat kita kenal.
Untuk mengimbangi gagasan penanggulangan kemiskinan  melalui jalur kapitalisme, sejarah pemikiran ekonomi, sempat digoncang oleh system nilai dan dogma  komunisme, yang dikembangkan atas dasar system sosialisme dan dogma sekulerisme juga yang dibangun atas dasar “teori nilai lebih”. Hanya saja, dengan runtuhnya komunisme Rusia, paradigma ini runtuh. Dan pada saat ini pemikiran social –ekonomi dunia mulai menoleh pada “Paradigma Ekonomi Syari’ah”.  Tentu kita boleh bertanya, pilihan  apa  yang dapat kita aplikasiakan  untuk perumusan kebijakan  penanggulangan kemiskinan dari hasil pemikiran “Ekonomi Syari’ah” tersebut ?. Kita dituntut untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam menghadapi  perkembangan ekonomi global yang semakin kompleks dan pincang, pada saat ini para ekonom  dunia dalam pengembangan ilmu ekonomi  berkecenderungan  dalam dua jalur pemikiran, yaitu :
(a)   Melakukan apa saja yang  secara empirik pernah terbukti berhasil memecahkan masalah ekonomi. Dengan meminjam logika paradigma Kuhn, ekonom ini bertahan dalam “paradigma ilmu ekonomi normal, yaitu kapitalisme” yang telah berkembang selama 200 tahun sejak Adam Smith sebagai Bapak Ekonom Dunia, sekalipun semua jargon ilmu ekonomi yang telah dirumuskan tidak mampu lagi memecahkan masalah ekonomi abad modern. Ilmu ekonomi akan berputar-putar di sekitar hukum penawaran dan permintaan, kebijakan pasar bebas, intervensi pemerintah versus tanpa intervensi pemerintah, kebijakan sisi permintaan versus sisi penawaran. Jika begini, berarti ilmu ekonomi sudah selesai dan tugas para ekonom  telah berakhir.
(b)  Melakukan revisi (paradigma/ dogma baru)  dari teori ekonomi “normal” . Beberapa kritikus meramalkan tamatnya ilmu ekonomi konvensional akan mengikuti tamatnya ilmu fisika dan ilmu biologi paradigma Cartesian. Dopfer dalam bukunya : “Ilmu Ekonomi di Masa Depa,  Menuju Paradigma Baru “ menyatakan bahwa “paradigma baru” tersebut akan berkembang dengan cara mengintegrasikan berbagai gagasan yang dikelompokkan menjadi empat proposisi, yaiu : (1) pendekatan yang holistik, (2) pandangan jangka panjang, (3) (tetap) sebagai ilmu pengetahuan emperis, dan (4) memandang ilmu ekonomi sebagai ekonomi politik. Untuk selanjautnya “data ekonomi”, kata Dopfer, akan mencakup : (1) komoditi ekonomis, (2) komoditi non-ekonomis dan (3) non-komoditi atau proses-proses. Dengan demikian “paradigma baru” dalam mengkaji ilmu ekonomi  tidak hanya meliputi data  pemuas kebutuhan fisik, juga data ekologi, fakta sosial dan politik, psikologi, bahkan  juga referensi yang lebih eksplisit tentang sistem nilai budaya bahkan  juga ajaran agama, sehingga “paradigma baru” ilmu ekonomi bukan hanya realistis dan dapat dipercaya, tapi juga komprehensif, yaitu dengan pendekatan sistem emperikal, rasional dan spiritual.

            Dengan dasar kecenderungan tersebut, ilmu ekonomi yang akan datang perlu mempertimbangkan kebutuhan manusia dalam arti luas. Chapra  (dalam Titik Balik Peradaban) menyatakan :

Referensi penuh terhadap sikap manusia, nilai-nilai dan gaya hidup pada pemikiran ekonomi akan menjadikan ilmu ekonomi menjadi “baru”. Ilmu baru ini akan berhubungan dengan aspirasi dan potensi manusia (secara utuh) dan akan mengintegrasikan ke dalam matrik ekosistem global. Pendekatan ini akan tetap memelihara filsafat ilmu ekonomi yang lazim, bersifat ilmiah dan empirik, positif, pragmatis, sekaligus spiritual.
            Jika tetap berpegang teguh pada system nilai sekulerisme dan dogma pasar bebas, maka jika para ekonom sekuat tenaga hanya mencari “jalan baru”  dengan dasar dogma yang ada, kita khawatir para ilmuwan ekonomi akan menghadapi  “jalan buntu”.  Uraian berikut  dimaksudkan untuk  menguak  Paradigma Zakat dari sudut pandang   penanggulangan kemiskinan secara kultural. Implimentasi zakat secara emperikal akan melengkapi gagasan  “berakhirnya  ilmu ekonomi lama” selanjutnya berlangsung perkawinan “ilmu ekonomi” dan “ilmu sosial lainnya”  termasuk juga dengan ilmu agama. Dengan dasar perkiraan terjadinya perkembangan demikian, dalam jangka panjang “ilmu ekonomi baru”  akan merupakan bauran dengan berbagai gagasan ekonomi dari sumber ajaran agama,  sehingga pada saatnya akan dapat dirumuskan  “ilmu ekonomi” yang sama sekali beda dengan “ilmu ekonomi konvensional” yang kita pahami saat ini.
            Perintah Zakat menurut esensinya  adalah perintah semua agama samawi sebagai konsep Pencipta Yang Maha Mengetahui.  Kita perhatikan ayat berikut :

Kata Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub :
“Kami jadikan mereka pemuka-pemuka, yang memimpin menurut perintah kami. Kami wahyukan kepada mereka agar melakukan perbuatan baik-baik dan mendirikan shalat, membayar zakat dan menyembah kepada Kami”
(Q. 21 : 73)
               Kata Nabi Ismail :
“Ceriterakanlah tentang Ismail dalam Kitab Al Qur’an, sungguh ia berpegang setia kepada janji-janjinya; ia seorang Rasul, seorang Nabi. Ia selalu menyuruh keluarganya shalat dan berzakat. Dan Ia diridhai oleh Tuhan”
(Q. 19 : 54)
               Perjanjian Allah SWT. dengan Bani Israil (Penganut Yahudi) :
“Dan ingatlah ketika Kami membuat perjanjian ini dengan Bani Israil; kalian tidak akan menyembah yang selain Allah, memperlakukan orang tua kalian dengan baik, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
(Q. 2 : 83)

Berkata Isa Al masih : sesungguhnya Aku ini seorang hamba Allah, diberikannya kepadaku sebuah Kitab dan dijadikanNya  Aku seorang Nabi. DijadikanNya Aku seorang yang membawa berkah dimana Aku berada, diwasiatkanNya kepada Ku mendirikan sembahyang dan mengeluarkan Zakat selama Aku masih hidup.
(Q, Maryam, 30-31)

Tidaklah mereka (orang Islam) itu diperintah, melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan condong melakukan agama karenaNya, begitu pula supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.
(Q, Bayyinah, 5)

        Dengan dasar ayat diatas cukup jelas, bahwa zakat adalah  konsep Pencipta Yang Maha Tahu tentang  menata kesejahteraan umat manusia. Bahkan secara tegas, Nabi menyatakan, didirikan Islam atas lima perkara : (1) Mengaku bahwa tidak ada Tuhan selain allah dan bahwa Nabi Muhammad itu pesuruh Allah, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Puasa Ramadhan, dan (5) Mengerjakan haji.
          Dengan demikian, bahwa  Paradigma Zakat   berbasis pada system nilai dan dogma  aqidah Islamiyah. Sistem nilai zakat bersifat emperikal, rasional dan spiritual sebagai berikut :
(a) Aspek emperikal dan rasional, bahwa zakat bermakna tumbuh secara ekonomi dan social (observable, bisa diamati).
(b)  Aspek spiritual, bahwa zakat bermakna suci. Artinya, sekalipun bersifat kewajiban bagi mereka yang mampu, tapi harus ditunaikan secara ikhlas (unobservable, tidak bisa diamti).

2.1. Hukum/ Sunnatullah Syar’iyah :  Emperik  dan Observable
           
           Pengamatan kita sehari-hari dapat kita pandang lebih dari sekedar seorang peneliti, karena kita secara sadar atau tidak sadar, memori kita akan mencatat data kehidupan. Kita menyaksikan secara berulang begitu banyak kejadian. Misalnya musim mengikuti tatanan tertentu. Api terasa panas. Besi jika dipanaskan akan memuai. Benda jatuh ke bawah.  Jika air didinginkan sampai suhu nol, maka akan membeku. Dan begitu banyak tatanan lainnya yang diciptakan Allah SWT sebagai sunnatullah atau sering juga kita sebut sebagai  hukum alam. Hukum alam  yang bisa kita amati tersebut, menurut Rudolf Carnap (1966) (Dalam Kourany, 1987, The Confirmation of Laws and Theories, p. 122 – 138), selanjutnya disebut Hukum Empirik. Sedangkan  hukum alam yang dapat dipahami secara  rasional, tetapi “tidak bisa diamati (unobservable)” misalnya hukum alam tentang molkul, atom, electron, medan electromagnet, dimana hukum tersebut bersifat “hipothetis”, menurut Rudolf Carnap disebut :”hukum theoritik”.
Bagaimana dengan hukum/sunnatullah yang berlaku dalam kerangka mekanisme zakat ?. Salah satu rukun Islam yang sangat populer adalah adanya kawajiban mengeluarkan zakat atau berangkat haji bagi yang “mampu”. Paradigma Zakat memperkenalkan konsep batas / nishab mampu yang merupakan   wacana penting dalam membahas pelaksanaan zakat. Secara garis besar, mekanisme zakat mengcakup dua kegiatan utama, yaitu :
(a) Pengumpulan Zakat dan
(b) Penyaluran Zakat.

1. Pengumpulan Zakat
Secara garis, pengumpulan zakat dari Muzaki dibatasi oleh angka nishab. Pengukuran besaran nishab dikenal dua macam, yaitu :

(1) Atas dasar kekayaan atau harta yang bersumber dari pendapatan / penghasilan rumahtangga, dan
(2) Atas dasar pendapatan atau  penghasilan / keuntungan usaha kita.

(1) Nishab kekayaan/ pendapatan : Observable
Nishab kekayaan merupakan ukuran penghasilan yang dapat diamati. Nishab kekayaan  dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
(a) Zakat fitrah dikenakan atas dasar per kepala, tanpa ketentuan nishab,  bagi umat Islam yang hidup dari sejak bayi sampai umur lanjut, sebesar satu sha’ atau 3,1 liter atau 2,5 kg beras per kapita yang dikeluarkan pada saat Hari Raya Iedul Fitri.
(b) Zakat harta pada akhir tahun atas dasar pemilikan kekayaan yang diukur dengan satuan emas dan perak. Nishab emas 20 dinar atau dihitung 93,6 gram emas. Nishab perak 200 dirham atau dihitung 624 gram perak.

(2) Nishab penghasilan/ keuntungan usaha : Observable
          Nishab penghasilan didasarkan pada tingkat penghasilan atau keuntungan dalam kegiatan produksi atau usaha produktif., hak milik penuh, artinya jumlah pemilikan (aset) setelah dikurangi hutang, yaitu :
(a) Barang temuan, tanpa disebut nishabnya, besarnya zakat 20%.
(b) Pertanian, dikenakan pada biji-bijian atau buah-buahan, nishab dihitung 300 sha’, sekitar 930 liter atau 760 kg kering dan bersih. Ada dua pola, yaitu : tanpa usaha manusia (tadah hujan) zakat 10%, dan  dengan peranan manusia (sistem irigasi) zakat sebesar 5%.
(c) Perdagangan dan jasa, tingkat keuntungan sebesar nishab 93,6 gram emas atau perak, besarnya zakat 2,5%.

2. Stratifikasi Masyarakat Kaya : Observable
(a)  Zakat Ternak unta dihitung sebagaimana ditunjukkan di Tabel  2.1; dan
(b) Zakat Ternak kambing dihitung sebagaimana ditunjukkan di Tabel 2.2.
Tabel 2.1 digunakan untuk menjelaskan tentang “lapisan masyarakat kaya” menurut sistem zakat ternak unta sampai pada lapisan tertinggi, yaitu ketika besarnya zakat yang dikeluarkan mencapai  sebesar nishabnya, sehingga apabila zakat tersebut disalurkan pada seseorang, orang tersebut memiliki kekayaan satu nishab  (kaya) dan wajib zakat.

   Tabel 2.1. Ketentuan nishab ternak unta sampai besarnya zakat = nishab pada  (dariTsamamah bin Abdullah bin Anas)

Nishab (ekor)
Jumlah Zakat

Lapisan
Jumlah dan jenis
Umur dan Persen
1.     0   –   4
Bebas zakat
----
I
2.     5   -   9
3.  10   -  14
4.  15   -  19
5.  20   -  24
1 ekor kambing
2 ekor kambing
3 ekor kambing
4 ekor kambing
2 tahun lebih, 2,5%
2 tahun lebih, 2,5%
2 tahun lebih, 2,5%
2 tahun lebih, 2,5%

II

6.  25   -  35
7.  36   -  45
8.  46   -  60
9.  61   -  75
1  ekor unta
1  ekor unta
1 tahun lebih, 2,8%
2 tahun lebih, 2,8%

III A
1  ekor unta
1  ekor unta
3 tahun lebih, 2,8%
4 tahun lebih, 2,8%

III B
10. 76  -  90
11. 91  - 120
2  ekor unta
2 tahun lebih, 2,6%
IV A
2  ekor unta
3 tahun lebih, 2,5%
IV B
12. 121 – 160
13  161 - 170
14  171 - 210
15  211 - 220
16  221 - 260
17 221  - 270
3  ekor unta
3  ekor unta
2 tahun lebih, 2,5%
3 tahun lebih, 2,5%

V A
4  ekor unta
4  ekor unta
2 tahun lebih, 2,3%
3 tahun lebih, 2,3%

V B
5  ekor unta
5  ekor unta
2 tahun lebih, 2,3%
3 tahun lebih, 2,3%

V C
Catatan :   pembuatan lapisan atas dasar perhitungan  jumlah nishab, dimana  jumlah zakat yang dikeluarkan adalah sebesar nishabnya.
           
         Dalam pembuatan lapisan pada Tabel 2.1 sampai pada tingkat pengahsilan/ kekayaan rumahtangga  yang didasarkan pada  suatu hadist yang menyatakan bahwa : “ akan ada suatu zaman, dimana kita kesulitan untuk mencari orang miskin yang berhak menerima zakat”. Secara teknis dapat dipahami, bahwa akan ada suatu zaman yang sangat makmur, dimana besarnya zakat seseorang Muslim jika diterimakan kepada seorang miskin adalah sebesar nishab. Artinya si “miskin” tersebut  menjadi wajib zakat, karena si msikin telah menjadi kaya. Ini dapat dipakai sebagai dasar sasaran pengelolaan zakat, yaitu : “yang kaya tetap kaya dan yang miskin menjadi kaya”.
      Selanjutnya, kita tinjau ketentuan nishab ternak kambing, yang dapat dipakai sebagai dasar  pengelompokan masyarakat kaya  yang  ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 :   Ketentuan nishab ternak kambing sampai pada lapisan  besarnya zakat = besarnya nishab
Nishab
Zakat
Lapisan
Jumlah dan jenis
Umur dan Persent
1.    0  -  39
Bebas Zakat
--
I
2. 40  -  120
1 ekor kambing betina
2 tahun lebih,  2,5-0,8 %
II
3. 121 -  200
2 ekor kambing betina
2 tahun lebih,  1,65-1,0 %
III
4. 201 – 300
3 ekor kambing betina
2 tahun lebih,  1,65-1,0 %
IV A
5. 301 – 400
4 ekor kambing betina
2 tahun lebih,  1,65-1,0 %
IV B
--------

2 tahun lebih,  1,65-1,0 %
IV C
40. 4.001 – 4.100
40 ekor kambing betina
2 tahun lebih,  1,65-1,0 %
V n

Dengan dasar Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 serta uraian tersebut diatas dapat disimpulkan berbagai hal berkaitan dengan “konsep kaya” dalam kerangka Sistem Zakat sebagai berikut :
(1)Konsep zakat memberi indikasi adanya “konsep kaya” yaitu ditunjukkan oleh tingkat pemilikan dan penghasilan (keuntungan) seseorang pada tingkat nishab;
(2)Masyarakat kaya adalah berlapis-lapis. Adanya lapisan masyarakat kaya sering dipahami bahwa kaya   adalah “relatif”. Hanya saja, adanya lapisan kaya tidak mengurangi pentingnya “konsep kaya” sebagai dasar pengukuran kesejahteraan masyarakat.
(3) Kepala rumahtangga kaya adalah  tingkat perekonomian seseorang, dimana jumlah “kekayaan lancar” (emas dan perak) pada akhir tahun = 93,6 gram emas, harga 1 gram emas sekitar Rp. 450.000,- per gram, atau pada tahun 2011 adalah sekitar Rp. 42.120.000,- per tahun, sekitar Rp. 3.510.000,- per bulan, atau  sekitar Rp. 120.000,- per hari, atau sekitar       $14,- per hari.
(4) Dengan dasar perhitungan nishab diatas, kita bisa membayangkan bahwa tingkat kaya minimum  menurut Paradigma Zakat bersifat empirik.
(5) Terdapat perbedaan pelapisan masyarakat kaya “model ekonomi unta” dengan “model ekonomi kambing”. Model ekonomi unta dapat dipandang sebagai mewakili “model ekonomi padat modal”, sedangkan model ekonomi kambing dapat dipandang sebagai mewakili “model ekonomi padat karya”. Model ekonomi padat karya “lebih merata” daripada model ekonomi padat modal.
(6) Dalam mekanisme zakat “kewajiban mengeluarkan zakat” diajarkan  sejak “belum kaya” dalam arti materiel, yaitu melaksanakan “zakat fitrah” pada saat hari raya Idul Fitri per kepala, sepanjang pada hari itu ada kelebihan “makanan pokok” keluarga kita, sebagai perwujudan “tangan diatas lebih mulia dari tangan dibawah” sebagai cerminan  “pemaknaan kaya secara batiniah”.
            Bagi masyarakat yang sedang berkembang, stratifikasi pemilikan dan padapatan masyarakat pada umumnya masih cukup sederhana. Masyarakat terbelakang cukup dikelompokkan menjadi mayarakat kaya dan masyarakat miskin saja. Hanya ada dua lapisan, yaitu kaya atau miskin. Ketika masyarakat mulai tumbuh maju, pelapisan masyarakat semakin bertambah. Dalam kerangka sistem zakat pelapisan masyarakat kaya tersebut sangat berkembang  secara lebih khusus.
            Pada Tabel 2.1 dan Tabel 2.2,  kita lihat tinjauan menyeluruh suatu kesatuan ekonomi masyarakat kaya  pada padat modal dan padat karya sebagai berikut :

(a). Masyarakat Padat Modal : Observable
            Pada Tabel 3.1 kita coba menyusun suatu tinjauan menyeluruh tentang kesatuan lapisan sosial masyarakat sampai wajib zakat terminal pertama. Pengertian  terminal pertama adalah sebuah kondisi sosial ekonomi masyarakat dimana telah berkembang lapisan masyarakat kaya pelaku zakat (Muzakki) dimana memiliki tingkat ast/ penghasilan atau keuntungan sebesar 270 ekor unta per tahun. Jumlah zakat yang ia keluarkan adalah sebesar  5 ekor unta (satu nishab). Sekiranya jumlah tersebut disalurkan untuk seorang miskin, maka   penerima zakat  berarti berpenghasilan 1 nishab, sehingga ia menjadi wajib zakat. Jika kondisi tersebut terwujud, maka tingkat kemakmuran “terminal pertama” tercapai.
            Industri “unta” diidentifikasi sebagai  kesatuan masyarakat “padat modal” dengan pertimbangan sebagai berikut :
(1) “Industri unta” tentu memerlukan “tenaga kerja” yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan “industri   kambing” pada tingkat nishab yang sama yaitu mengelola  5 ekor unta versus 40 ekor kambing.
 (2)  Jika kita mengelola “industri unta” versus “industri kambing” pada skala “jumlah ekor sama” tentu modal investasi “industri unta” adalah lebih besar daripada “industri kambing”.
(3)   Hal lain yang cukup menarik, bahwa tingkat zakat “padat modal” yaitu  “tetap 2,5%” adalah lebih besar daripada tingkat zakat “padat karya”, yaitu turun dari 2,5% menjadi 1,0% pada tingkat nishab lebih besar dari 40 ekor kambing.
            Pelapisan masyarakat kaya untuk industri “sistem unta” dapat  digambarkan sebagai berikut :
 (1) Strata I    :  masyarakat ayng pemilikan dengan tingkat pendapatan atau keuntungan per tahun dibawah nishab 5 ekor unta. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat tidak wajib zakat. Pendapatan per kapita dibawah 93,6 gram emas atau 20 dinar per tahun .
(2)  Strata II   : masyarakat ayng pemilikan dengan tingkat pendapatan atau keuntungan per tahun diatas nishab 5 – 24 ekor unta. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat wajib zakat. Pendapatan per kapita diatas 93,6 gram emas atau 20 – 96 dinar per tahun. Pada lapisan ini terdapat  4 sub-lapisan dengan selang pendapatan  5 ekor unta.
(3)  Strata III : masyarakat ayng pemilikan dengan tingkat pendapatan atau keuntungan per tahun diatas nishab 25 – 75 ekor unta. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat wajib zakat. Pendapatan per kapita diatas 93,6 gram emas atau 97 – 300 dinar per tahun. Pada lapisan ini terdapat  2 sub-lapisan dengan selang pendapatan  untuk lapisan III A  adalah selang 10 ekor unta, dan lapisan III B adalah  selang 15 ekor   unta.
(4)  Strata IV : masyarakat ayng pemilikan dengan tingkat pendapatan atau keuntungan per tahun diatas nishab 76 – 120 ekor unta. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat wajib zakat. Pendapatan per kapita diatas 93,6 gram emas atau 301 – 480 dinar per tahun. Pada lapisan ini terdapat  2 sub-lapisan dengan selang pendapatan untuk lapisan IV A adalah selang  15 ekor, dan  lapisan IV B adalah selang 30  ekor unta.
(5)  Strata V   : masyarakat ayng pemilikan dengan tingkat pendapatan atau keuntungan per tahun diatas nishab 121 – 270 ekor unta. Lapisan ini merupakan kelompok masyarakat wajib zakat. Pendapatan per kapita diatas 93,6 gram emas atau 481 –1080  dinar per tahun. Pada lapisan terdapat  3 sub-lapisan dengan selang pendapatan  40 – 50  ekor unta berbeda umur.
            Dengan  memperhatikan kompleksitas lapisan masyarakat secara “statis” sebagai indikasi adanya struktur sosial tertentu, dan secara “dinamis” pada hakekatnya mengandung pelajaran teori ekonomi  tentang adanya “pertumbuhan pendapatan masyarakat” yang semakin lebih menjadi kaya.

(b) Masyarakat Padat Karya : Observable
         Pada masyarakat yang mengembangkan strategi ekonomi “padat karya” mengacu pada lapisan “nishab  jumlah ekor kambing”  menunjukkan adanya empat strata dan lebih merata  dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan  lapisan “masyarakat padat modal” (Perhatikan jumlah lapisan di Tabel 2.1 dan Tabel 2.2).
       Dari strata yang disajikan di Tabel 2.2 diperoleh gambaran pelapisan sosial masyarakat padat karya sebagai berikut :
(1) Strata I     : masyarakat bebas zakat dengan pemilikan tingkat pendapatan atau keuntungan kurang dari 40 ekor kambing atau kurang dari 93,6 gram emas.
(2)  Strata II   :  masyarakat wajib zakat (kaya) dengan pemilikan tingkat pendapatan atau keuntungan sebesar 40 – 120 ekor kambing atau 20 – 60 dinar per tahun.
(3)  Strata III :  masyarakat wajib zakat (kaya) dengan pemilikan tingkat pendapatan atau keuntungan sebesar 121 – 200 ekor kambing atau 61 – 100 dinar per tahun.
(4)  Strata IV :  masyarakat wajib zakat (kaya) dengan pemilikan tingkat pendapatan atau keuntungan sebesar 201 – 3.999 ekor kambing atau 101 – 2.050 dinar per tahun. Pada lapisan IV ini kita dapatkan sangat banyak strata.
(5)  Strata V   :  masyarakat wajib zakat (kaya) dengan pemilikan tingkat pendapatan atau keuntungan sebesar 4.001 – 4.100 ekor kambing per tahun. Pada lapisan V ini kita dapatkan besarnya zakat 40 ekor kambing (satu nishab).
        Dengan dasar strata yang berbeda antara model ekonomi “padat modal, sistem unta” dan “padat karya, sistem kambing” memberi pelajaran pada kita, bahwa untuk menjadi kaya, juga terkait dengan “sistem ekonomi” yang dikembangkan di suatu negara. Dengan dasar perhitungan nishab diatas, kita bisa membayangkan bahwa tingkat kaya minimum  menurut Paradigma Zakat bersifat empirik yang bisa diamati. Dan oleh karena itu  atas dasar  informasi Pardigma zakat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pemahaman kita tentang  sunnatullah dalam kerangka mekanisme zakat adalah bersifat sunnatullah empirik. Dengan dasar analisis, kita memperoleh pelajaran penting berbagai hal sebagai berikut  :
(a)   Ajaran  Islam juga mengandung  ajaran  yang dapat diamati (observable). Kesimpulan ini mengajak pada kita semua (Ulama maupun Ilmuwan) bahwa ajaran Islam disamping mengajarkan aqidah, syari’ah, akhlak dan muammalah syar’iyyah, juga mengajarkan  subyek tentang Ilmu Pengetahuan yang bisa diamati oleh siapa saja seperti lazimnya Ilmu Pengetahuan.
(b)  Agama Islam juga mengajar ilmu empirik yang bisa diamati.

 2. Penyaluran Zakat : Observable
         Penyaluran zakat mengacu pada petunjuk Al Qur’an, At Taubah 60, ditujukan untuk delapan asnaf, yaitu : (a) Fakir, (b) Miskin, (c) Amil, (d) Muallaf, (e) Budak, (f) Orang Terlilit Hutang, (g) Sabiliellah, dan (h) Ibnus Sabil (anak jalanan). Kegiatan penyaluran secara professional akan menumbuhkan kelembagaan permodalan dan pelatihan bagi Mustahik. Kegiatan penyaluran bersifat emperik dan bisa diamati oleh siapa saja dan kapan saja.

2.2. Hukum /Sunatullah Rohaniyah : Spiritual/ Unobservable
         Pengertian zakat juga bermakna suci (hati yang bersih). Perilaku hati merupakan kunci utama dalam implimentasi ajaran Zakat (Islam), seperti  takwa, ikhlas, syukur nikmat, ajaran kasih sayang, dermawan  dan banyak lagi  sikap bathin  yang justeru memperoleh perhatian tinggi dan  penting dari sekedar sikap lahir/ emperik. Sikap tersebut tidak bisa diamati, namun nampak/ bisa diprediksi  atas dasar tingkah laku lahir kita. Sekurang-kurangnya kita masing-masing dan Allah SWT. saja yang tahu tentang perilaku hati kita. Kita perhatikan pesan Allah SWT. berikut ini :

(a). Tentang korban (apapun bentuknya, termasuk berzakat).
Yang sampai kepada Allah bukan daging dan darah korban, tapi takwamu.
(Al Qur’an)

(b). Kriteria Takwa
Yang paling mulia disisi Allah SWT. adalah yang paling takwa diantara kamu
(Al Qur’an)

            Takwa adalah  perilaku hati yang bersih, ikhlas, takut dan that kepada  Allah SWT dalam keadaan apapun dan dimanapun.Atas dasar uraian diatas dapat disimpulkan ada tiga jenis sunnatullah berkenaan dengan  Paradigma Zakat, yaitu :
(a)   Sunnatullah syar’yah-emperik : observable.
(b)  Sunnatullah rasional-empirik : observable dan  dan
(c)   Sunnatullah rohaniyah : unobservable.

3. Rumus Zakat : Hukum / Sunnatullah Rasional - Emperik
            Adalah masuk akal, jika kita memahami tingkat nishab untuk berbagai objek zakat adalah  memiliki nilai yang sama. Dengan dasar pemikiran demikian, maka seyogianya dapat disusun Rumus Zakat yang dapat dipahami secara imani, rasional dan empirik.  Dalam analisis system zakat kita dihadapkan pada angka-angka. Dengan dasar angka-angka tersebut diatas kita dihadapkan pada tiga komponen utama dalam penghitungan zakat, yaitu :

(1)  Nishab (N).
(2)  Zakat (Z).
(3)  Hasil Zakat (H).

(a).Landasan Kesejahteraan : Kultural
            Jika kita perhatikan zakat ternak unta atau kambing, kita lihat jika kita memiliki/ berpenghasilan  5 ekor unta yang telah cukup umur  satu tahun dan atau 40 ekor kambing yang juga telah cukup umur  satu tahun, maka dikenakan atasnya  zakat 1 ekor kambing.  Logita matematik mengajarkan kita :
(a)   5 ekor unta (nishab/N1 unta) dikenakan zakat (H1) = 1 ekor kambing.
(b)  40 ekor kambing (nishab /N2 kambing) dikenakan zakat (H2) = 1 ekor kambing.
Kesimpulan  Rumus Zakat Pertama :


N1 = N2          ……………………….. (1)
                        N1       = nishab unta
                        N2       = nishab kambing
         
Pertanyaan  beruntun dapat dilontarkan, seperti benarkah :
(a)   Nishab ternak = nishab gabah (hasil pertanian).
(b)  Nishab gabah = nishab hasil industry.
(c)   Nishab ternak = nishab pemilikan/penghasilan  setara emas = 93,6 gram emas.
Jawaban boleh jadi bermacam-macam, tetapi secara rasional seyogianya hal tersebut berlaku, mengingat prinsip keseimbangan alam yang dinyatakan dalam Al Qur’an berikut :

7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan  dalam keseimbangan.
8.Supaya kamu jangan melampau batas keseimbangan itu.
9. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.
(Al Qur’an, Ar Rahman, 55 : 7-9).
Dengan dasar Al Qur’an tersebut maka selanjutnya diperoleh  Rumus Zakat Kedua, yaitu :

N1 = N2 = N3 = …………. Nn =  93,6 gram emas …………..  (2)

                        N = nishab objek zakat

            Dengan dasar Rumus Zakat Pertama dan Kedua, kita bisa menyamakan  pengukuran kesejahteraan dengan dasar  penghasilan sebesar nishab, yaitu sebesar  93,6 gram emas per tahun. Dengan dasar perhitungan harga 1 gram emas senilai Rp. 450.000,- diperoleh patokan  tingkat penghasilan sejahtera sebesar  sekitar  Rp. 43.0 juta rupiah, atau sekitar Rp. 3.500.000,- per bulan (tahun 2011).

(b). Landasan Kebijakan Politik Kesejahteraan : Menanggulangi Kemiskinan Struktural
            Paradigma Zakat juga memperkenalkan  penghitungan zakat kepala (fitrah) , dimana besarnya nishab tidak disebutkan. Penghitungan zakat didasarkan hasil (H) berupa besaran  sejumlah makanan pokok sebanyak 3 sha’, atau sebanyak sekitar 2,5 Kg. Disamping itu, kita juga diperkenalkan dengan  besarnya zakat  (Z) dalam prosen. Dengan dasar syari’ah tersebut, maka kita akan  bisa merumuskan Rumus Zakat Ketiga, yaitu :

                                                            N1xZ1 =H1 (satuan fisik)  …………………..          (3)

            Dengan dasar Rumus zakat Ketiga, kita bisa mengukur nishab  kebutuhan pangan minimal sebagai berikut :

                                    Z1 = 2,5%;  H1 = jumlah zakat fitrah, yaitu 2,5 Kg;
                                  Maka Nishab pangan per tahun adalah senilai   100 Kg


            Selanjutnya, dalam penghitungan zakat dikenal dua pola, yaitu  per tahun dan per panen. Oleh karena itu, ketika kita akan mengaplikasikan rumus zakat tersebut  untuk menyeimbangkan  objek zakat penghasilan dan zakat pertanian, maka kita harus menyamakan dalam satuan waktu yang sama, yaitu per tahun. Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka kita akan menghasilkan  Rumus Zakat Keempat, yaitu :

                                                            N1 xZ1            H1
                                                --------  =   -------  =  K  ……………….  (4)
                                                N2 x Z2           H2

                                                  K  =  konstante zakat

    Dengan mempertimbangkan periode panen masing-masing objek zakat , dalam kondisi keseimbangan , maka nilai K bisa dihitung.
            Selanjutnya, sebagaimana kita mengetahui saat modern ini, nilai uang telah berubah menjadi  uang kertas (bukan uang emas), maka kita akan  menghasilkan Rumus Zakat Keempat, yaitu :
                                                         
                                                             N1 x Z1 x P1
                                                              ---------------- = K  …………………             (5)
                                                 N2 x Z2 x P2

                                                Dimana  P = harga komoditi/ produk.

            Dengan dasar Rumus Zakat Keempat, kita bisa memperkirakan harga komoditi yang ideal. Dalam kebijakan pertanian kita dikenalkan dengan konsep kebijakan harga dasar  (floor price) dan harga ideal (ceiling price). Terkait dengan kemampuan pemerintah, dengan dasar teori harga ini, dalam penetapan harga hasil pertanian/ sumberdaya alam dikenal dua pola kebijakan, yaitu :

(1)  Membeli harga dasar (floor price)  dan menjual pada harga pasar.
(2)  Membeli harga ideal (ceiling price) menjual harga pasar.

        Kebijakan politik harga floor price versus ceiling price akan sangat berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Ketika komitmen politik pemerintah memihak kuat terhadap produsen hasil pertanian, maka kebijakan pemerintah cenderung akan memilih kebijakan membeli pada  ceiling price dan menjual pada tingkat harga pasar. Dan pilihan sebaliknya adalah kebijakan floor price.
         Rumus (1) – (5)  kita diperkenalkan dengan  Rumus Zakat  Model Statis. Selanjutnya kita juga diperkenalkan Rumus Zakat Model Dinamik.  Kita perhatikan   perubahan zakat (%)  karena perubahan obyek zakat sebagai berikut :

            Tabel 3.1 Perubahan prosentase zakat akibat perubahan objek zakat
                            (Rumus Zakat Kelima)

No
Objek Zakat
Besarnya Zakat (%)
Keterangan

1
2
3
4

5

6

Barang Temuan
Pertanian Tadah Hujan
Pertanian Pengairan
Budidaya Ternak (kambing 40 ekor)
Perdagangan dan industri

Budidaya kambing 4.000 ekor

20%
10%
5%
2,5% (1/40 ekor kambing)
2,5%

1% (40 ekor kambing)

Peran keahlian minimal
Ada sedikit peran keahlian
Ada peningkatan peran kehlian
Peran keahlian semakin menentukan
Peran keahlian semakin menentukan
Peran kehlian semakin kompleks




Keterangan :  Pergeseran bisnis ke sektor yang semakin mengandalkan keahlian, besarnya zakat semakin menurun (dari 20% - 1%). Artinya ada  pendekatan “insentif zakat”  bagi pengembangan usaha alternative mata pencaharian masyarakat Muzaki (industrilisasi).

          Tentang perubahan prosentase zakat yang semakin menurun tersebut sempat menimbulkan  perbedaan pandangan dalam melihat Rumus Zakat.  Cak Nur (Nurkhalis Majid) tokoh pembaharu  yang sempat kita kenal menyatakan bahwa  prosentase zakat tersebut  menggambarkan ketidak adilan Sistem Zakat. Dia beralasan, karena  zakat pertanian  dikenakan zakat 5%, sementara petani kita lihat  lebih miskin dari pedagang, dimana zakat perdagangan adalah sebesar 2,5%.
           Dengan dasar  insentif zakat sebagaimana disebutkan, hakekatnya system tersebut adalah adil, dengan argument :
(a)   Adanya daya dukung lahan pertanian, pada tingkat  eksploitasi tertentu akan mencapai puncak daya dukung. Jika eksploitasi diteruskan, justeru akan dikuti penurunan penghasilan pertanian yang berakibat kemiskinan petani.
(b)  Yang menjadi pertanyaan, kebijakan apa yang kita berlakukan agar berdampak  “transformasi ekonomi” atau “perluasan lapangan kerja” ?. Jawabannya adalah  dengan adanya “insentif zakat” (identik dengan insentif pajak). Bagaimana , masyarakat petani didorong meninggalkan lahan pertaniannya, diharapkan agar yang tetap bertahan sebagai petani “pendapatannya meningkat” karena lahan pertanian yang lebih luas, mengingat  sebagian petani meninggalkan lahan pertanian mengingat adanya “alternative mata pencaharian” akibat adanya “insentif zakat” dengan cara pengenaan zakat perdagangan dan industry  dengan prosentase yang lebih rendah, yaitu dari 5% (pertanian) menjadi 2,5% untuk zakat perdagangan dan industri. Keb8ijakan ini sering dikenala dengan  pendekatan “kebijakan kontradiksi”.
(c)   Kebijakan kontradiksi ini sangat dikenal dengan pendekatan insentif pajak untuk kebijakan pengembangan industrilisasi dan perluasan lapangan kerja.

            Berikut pengenaan zakat atas dasar  pertimbangan, bukan saja  didasarkan pada peran keahlian, juga atas dasar pertimbangan besarnya modal usaha. Kita perhatikan  besarnya asset usaha antara zakat unta (padat modal) dan zakat kambing (padat karya) sebagaimana ditunjukkan pada besarnya zakat  atas dasar besarnya asset perusahaan pada level / kelas usaha  ke V.

            Tabel 3.2 Besarnya nilai zakat dikaitkan dengan peran dan managemen modal investasi
                            (Padat modal, unta versus Padat karya, kambing) (Rimus Zakat Keenam)

No
Bisnis Unta/ Padat Modal
Bisnia Kambing/ Padat Karya
Nilai Rupiah
Investasi Bisnis Unta
(milyar)
Nilai Rupiah Bisnia Kambing (Milyar)
1. Besarnya Investasi, Tingkat V

221-270 ekor unta

4.000 – 4.100 ekor kambing

Sekitar 2,5 Milyar

Sekitar 4,0 Milyar
2. Besarnya zakat (%)
2,3 %
1%
2,3%
1%
Keterangan : Pengembangan bisnis padat karya  (1%) yang lebih rendah dari  besarnya zakat pada bisnis padat modal (2,3%). Artinya ada  pendekatan “insentif zakat”  bagi usaha padat karya.
          Dengan dasar uraian diatas, untuk sementara kita melihat ada Enam Rumus Zakat yang dapat digunakan untuk pengembangan  kebijakn perekonomian kesejahteraan   dengan pendekatan penanggulangan kemiskinan  dengan dasar Paradigma Zakat, yaitu :

(a). Kebijakan Kultural :
(1) Penetapan batas minimal kesejahteraan, yaitu pada tingkat pendapatan  1 nishab, yaitu sebesar 93,6 gram emas per tahun.
(2)  Penetapan batas minimal konsumsi bahan pokok untuk dasar penetapan  batas upah minimal.

(b). Kebijakan Struktural : Politik
(1)  Kebijakan harga hasil pertanian/sumberdaya alam yang dapat memperbaiki kesejahteraan petani.
(2)  Kebijakan “insentif zakat” untuk perluasan industrilisasi dan  lapangan kerja.
(3)  Kebijakan  industrilisasi padat karya berbasis pada pengembangan investasi padat karya  atau padat  “keahlian”.

4. Kebijakan Itu Apa ?
Kebijakan ekonomi adalah konsern  terhadap “apa yang seharusnya” . Dengan demikian  kebijakan ekonomi untuk  penanggulangan kemiskinan adalah   bersifat normatif, fokus pada penggunaan sumberdaya secara optimal untuk meningkatkan  kesejahteraan individu atau rumahtangga dalam masyarakat. Adapun cabang ekonomi konsern dengan pemahaman dan peramalan perilaku ekonomi  tentang “apa adanya yang terjadi”,  merupakan cabang “ekonomi positif”. Ekonomi positif akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan seperti  apa saja yang menentukan harga-harga komoditi. Dengan demikian, rumusan kebijakan ekonomi sebagai cabang ekonomi normatif tentu mengacu pada system nilai dan dogma perekonomian tertentu. Kita memilih perekonomian yang berkeTuhanan Yang Maha Esa. Pasti kita tidak menganut  system nilai sekulerisme. Dengan demikian, jika Mahkamah Konstutusi membatalkan banyak UU yang dihasilkan DPR yang menganut system nilai liberalisme adalah benar (Republika, 2616 Nopember 2011).
Menurut Dunn (1996, Analisa Kebijaksanaan Publik) untuk merumuskan kebijakan diperlukan proses analisis kebijakan.  Yang dimaksud analisis kebijakan  adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan penalaran  dan fakta untuk memperjelas, menaksir dan menunjukkan pemecahan masalah yang diikuti prosedur tertentu (deduktif maupun induktif) agar dapat menghasilkan pandangan yang rasional mengenai keputusan yang dipilih. Dunn menganjurkan menggunakan  definisi analisis kebijakan  sebagai berikut :
Bahwa  analisis kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil keputusan.  Dalam hal ini, kata analisis secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan yang dirinci menurut komponen-komponennya, tapi juga merencanakan dan mencari sintesis untuk mengasilkan alternatif kebijakan yang baru. Aktifitas ini meliputi sejak tahapan penelitian untuk memberikan wawasan tentang masalah yang kita hadapi atau  persoalan yang mendahului atau evaluasi program yang telah selesai. Beberapa analisis bersifat informal, namun dengan pemikiran yang keras dan teliti, sedang lainnya membutuhkan data yang mencukupi sehingga dapat dihitung dengan menggunakan matematika yang terkadang rumit.
            Dengan dasar uraian diatas, selanjutnya Dunn  menyusun definisi analisis kebijakan sebagai :
 “sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatakan pada tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan”.
Masalah kebijakan nasional yang jelas-jelas nyata di sekitar kita adalah menanggulangi kemiskinan. Dengan pengertian diatas, maka analisis kebijakan  penanggulangan kemiskinan adalah merupakan proses analisis yang menerobos pagar disiplin ilmu tertentu dengan tujuan tidak hanya menghasilkan “fakta” , tapi juga  untuk menghasilkan nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik.  Analisis kebijakan menggunakan  berbagai disiplin yang tujuannya bersifat : (1) penandaan  (designative),     (2) indikator performance,  (3) penilaian  (evaluative) atas keberhasilan/ kegagalan, dan  (4) anjuran (advocative)  dalam tindakan. Dengan demikian, sebuah kebijakan  dapat dinyatakan sebagai  suatu argumen yang masuk akal untuk mempengaruhi perilaku masyarakat   mengenai tiga hal, yaitu :
(1) Nilai-nilai yang capaiannya menjadi tolok ukur (indicator performance) apakah suatu masalah  telah dapat dipecahkan;
(2) Fakta-fakta yang  keberadaannya mempertinggi pencapaian nilai-nilai, dan
(3)Tindakan-tindakan yang pelaksanaanya menghasilkan pencapaian nilai-nilai dan memecahkan permasalahan yang  dihadapi..
            Adapun prosedur dalam  analisis  kebijakan menurut Dunn  ada empat cara.
(1) Deskrepsi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai sebab dan akibat kebijakan di masa lalu;
(2) Peramalan (prediksi) yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai akibat kebijakan untuk waktu mendatang;
(3) Evaluasi yang memungkinkan kita membuat informasi mengenai nilai dari kebijakan di masa lalu dan di masa mendatang; dan
(4) Rekomendasi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai arah tindakan yang akan datang yang diperkirakan akan menimbulkan akibat  lebih punya nilai
Sementara itu, menurut Dunn, pengetahuan mengenai fakta,  nilai dan tindakan   membutuhkan lima tipe informasi yang diperlukan , yaitu :
(1) Permasalahan kebijakan, yaitu : nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik ;
(2) Alternatif kebijakan yang harus dipilih, yaitu : arah tindakan yang secara potensial tersedia dan memberikan sumbangan dalam pencapaian nilai, dan oleh karena iitu memberikan  kontribusi dalam pemecahan masalah yang dihadapi;
(3) Tindakan kebijakan, yaitu : rangkaian langkah sesuai dengan alternatif kebijakan yang dipilih dan dilakukan untuk mencapai tujuan;
(4) Hasil kebijakan, yaitu : dampak yang terjadi dari rangkaian tindakan yang dilaksanakan,  dan
(5) Pencapaian kebijakan merupakan tingkatan seberapa jauh hasil kebijakan memberikan sumbangan pada pencapaian nilai yang kita tetapkan.

5. Penutup : Berbagi Peran
Dengan dasar proses analisis kebijakan tersebut diatas,  maka kebijakan  kultural maupun struktural (politik)  penanggulangan kemiskinan  dapat dipandang sebagai  tindakan  BAZNS/LAZ, baik langsung maupun tidak langsung  yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan budaya produktif dan kesejahteraan Mustahik, khususnya masyarakat miskin, juga  perbaikan  kondisi sumberdaya manusia publik, dalam hal ini kehidupan masyarakat dan kondisi  sumberdaya  ekonomi pada waktu sekarang dan akan datang.
       Ada dua tugas utama BAZNAS/LAZ dalam  berpartisipasi kebijakan cultural maupun structural penanggulanagn kemisinan, yaitu :
(1) Peningkatan  kecakapan / keahlian bisnis Mustahik, dan
(2) Penguatan bisnis agar Mustahik tumbuh usahanya.
       Untuk meraih tujuan perbaikian kesejahteraan MUSTAHIK  secara efektif dan efisien, maka  diperlukan bagi peran  yang kolaboratif dan sinergis antara  BAZNAS/LAZ dan pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar