Senin, 12 Desember 2011

TRAGEDI INDUSTRILISASI

TRAGEDI INDUSTRIALISASI TIDAK RAMAH LINGKUNGAN :
DAMPAK TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR 
Oleh:

Sahri Muhammad, D. Gede R. Wiadnya, Darmawan O. Sutjipto (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Universitas Brawijaya Malang)

Makalah ini disajikan pada acara Seminar Nasional Pemanasan Global: Strategi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, di Universitas Brawijaya Malang,
pada hari Sabtu 31 Januari 2009

Renungan Krisis Lingkungan Global Abad Ke XXI : Rujukan Al Qur’an.

Rujukan 1 :
6. Dan apabila lautan dipanaskan (suhu naik)*)
14. Maka tiap-tiap jiwa (manusia)  akan mengetahui (menyadari?) apa yang telah dikerjakannya
27. Ia (Al Qur’an) itu tiada lain hanyalah  Adz Dzikraa (rujukan, pengingat) bagi semesta alam (seluruh komponene lingkungan kehidupan)
28. (Rujukan)  bagi siapa saja diantara  kamu (seluruh manusia) yang ingin menempuh jalan yang lurus
(Al Qur’an, At Takwir, 81 : ayat 6, 14,  27 dan 28)

Rujukan 2 :
  1. Allah Yang Maha Pemurah
  2. Yang telah mengajarkan Al Qur’an.
  3. Dia menciptakan manusia.
  4. Mengajarnya pandai berbicara.
  5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
  6. Bintang-bintang  dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNys**).
  7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan (dalam keadaan) seimbang.
  8. Agar kanu (manusia) jangan melampaui batas keseimbangan itu.
  9. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu (manusia) mengganggu keseimbangan itu.
12 Maka (konsep, ayat, nikmat) Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?
(Q, Ar Rahman, 55 : 1-9)
Keterangan :
*)  Pemanasan global akibat emisi karbon melebihi batas keseimbangan  alam, berdampak terhadap  kenikmatan hidup di dunia akan berkurang, berdampak luas seperti perubahan iklim , termasuk  punahmya kehidupan banyak jenis makhluk, termasuk manusia.
**) Fungsi pohon-pohonan adalah menjadi  kunci (berbakti kepada Allah SWT. dengan ikhlas, tanpa pamrih) dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan sebagai penyerap carbon (CO2) dengan bantuan sinar matahari  (fotosinthesis) menghasilkan oksigen (O2), tentu saja  untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Manusia pantas mempertimbangkan “gerakan menanam pohon”.

Ringkasan:
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan fenomena bahwa ”tragedi industrialisasi”   telah nampak berupa perubahan iklim yang merupakan ancaman global yang sangat serius dan kita harus mempersiapkan rencana di tingkat global untuk mengatasi dampaknya. Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya permukaan air laut, asidifikasi, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan rakitan spesies. Antisipasi secara lokal untuk mengurangi perubahan iklim hampir tidak bermanfaat, sehingga pengelola wilayah pesisir dan lautan harus segera melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Makalah menyinggung secara ringkas sistem peringatan dini, mitigasi bencana dan membangun jejaring kawasan konservasi laut yang tangguh (resilient) untuk menghindar dari ”tragedi”  perubahan iklim global.
Key words :  tragedi, industrialisasi, iklim, global, pesisir.

1. Pendahuluan
Temuan ilmiah sudah semakin jelas: perubahan iklim menjadi ancaman global yang sangat serius terhadap kehidupan di bumi. Sementara negara berkembang di wilayah tropis masih kesulitan untuk mengatasi ’local-anthropogenic threat’, ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan lebih menyulitkan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut (IPCC, 2007a). Berdasarkan kajian praktisi, pakar dan peneliti, ”kita masih bisa berpacu dengan waktu untuk menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk, jika kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang cukup kuat”.
            Kata ”tragedi”  mengacu tulisan Hardin (1969) tentang : ”The Tragedy of the Common” mengingat  udara dan laut sebagai ”milik bersama”  diyakini sebagai jantung kehidupan, selama  200 tahun terakhir telah memperoleh beban limbah udara yang dihasilkan oleh  kegiatan industrilisasi, dampaknya semakin hari semakin dikhawatirkan  tidak tertanggungkan. Udara dan laut pelindung bumi milik kita bersama semakin hari semakin mamanas. Tragedi”  dimaknai  bukan terletak pada kradaan “ketidakbahagiaan”, namun terletak pada  “berlakunya keadaan yang benar-benar kejam” sebagai suatu “nasib kehidupan duniawi yang tak terhindarkan dengan kejadian-kejadian yang menyebabkan ketidakbahagiaan, dimana pelarian dari keadaan tersebut menjadi sia-sia’ (Filsuf Whitehead, dari Garrett Hardin, 1969). Menurut Hardin, tragedy kebersamaan berlangsung  mengikuti alur proses  (sunnatullah) sebagai berikut :

(1)   Bayangkan suatu padang rumput yang tersedia untuk semua orang.

(2)   Dapat dibayangkan setiap gembala akan mencoba menggembalakan sebanyak mungkin sapi di padang rumput itu.
(3)   Penyelenggaraan demikian berlangsung dengan cukup memuaskan selama berabad-abad, ketika jumlah manusia dan hewan ternak masih berada dibawah daya dukung lahan gembalaan.
(4)   Namun akhirnya tibalah masa perhitungan, yaitu pada waktu stabilitas social telah menjadi kenyataan, pada saat mana logika bawaan kebersamaan tanpa belas kasihan menimbulkan tragedy.Sebagai makhluk yang berakal, setiap gembala akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan.
(5)   Dengan diam-diam atau setengah sadar, ia akan bertanya faedah yang akan diperoleh dengan menambahkan satu atau lebih kawasan ternaknya.
(6)   Tragedi muncul ketika  jumlah ternak gembalaan telah melampaui ketersediaan dan daya dukung lahan rerumputan gembalaan, dimana  para peternak menghadapi “kehancuran bersama”.
(7)   Secara terbalik, tragedy kebersamaan itu muncul dalam persoalan pencemaran. Disini, soalnya bukan mengambil suatu lahan dari kebersamaan, tetapi memberikan limbah  pada lingkungan milik bersama, yaitu bumi yang satu”.
Oleh karena itu, harus disadari bahwa pengembangan industrialisasi  mengandung komponen positif dan negative sebagai berikut :
(1)   Komponen positif, yaitu fungsi tambahan satu unit industry menyediakan janji bagi pemilik industry berupa perolehan penghasilan, disamping perluasan lapangan kerja dari tambahan satu unit pabrik. Manfaat  positif tersebut kita memberi nilai plus satu.
(2)   Komponen negative, yaitu fungsi “penambahan pencemaran air dan udara” disebabkan oleh bertambahnya satu unit industry. Tambahan cemaran air dan udara tersebut diderita sama-sama oleh semua penduduk bumi, maka  menjadi manfaat negative bagi pemilik pabrik dan public di seluruh bumi, yang berarti menyediakan nilai minus satu untuk kehidupan di bumi.
Dengan menjumlahkan manfaat parsial  komponen  industrialisasi, maka pemilik / negara industri  cenderung mengambil kesimpulan sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk dilakukannya, yaitu menambah “unit industry” di negaranya masing-masing. Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan setiap dan  semua pemilik/komunitas/Negara yang berakal, demi pembangunan bangsanya, berlomba  mengembangkan dan menyebarluaskan di negaranya masing-masing. Menurut Hardin (1969), dari sini letak terjadinya tragedy itu, yaitu setiap orang pengembang industrialisasi terikat oleh system yang mendorong untuk memperbanyak industrinya  relative tanpa batas di bumi yang diyakini terbatas. Maka “kehancuran” cepat atu lambat menunggu datangnya “nasib” yang akan dihadapi semua orang, dimana masing-masing berlomba mengejar kepentingannya sendiri, dalam suatu masyarakat yang  percaya akan nikmat “kebebasan/ liberalisme dalam kebersamaan”. Kebebasan dalam kebersamaan telah menyediakan nasib  (tragedy) “kehancuran buat semua”.
            Dalam “tragedy industrialisasi” yang menjadi soal, sebagaimana telah disebutkan,  bukan berebut lahan “gembalaan ternak dari kawasan lahan rerumputan untuk pakan ternaknya”, tetapi pada “tragedy industialisasi” masing-masing pabrik memberikan sesuatu dalam bentuk limbah udara atau air, berupa kotoran kimia (seperti CO2, NH4, NO2, aerosol), radio-aktif dan panas kedalam air dan udara,  gas beracun dan berbahaya ke udara yang berakumulasi merusak lingkungan. Industrialis yang berakal mengetahui bahwa bagian biaya yang harus dikeluarkan untuk limbah yang dibuang kedalam “lingkungan bersama”, yaitu udara dan air,  adalah kurang  dari biaya yang dikeluarkan seandainya limbah itu “dibersihkan” (green industry)  lebih dahulu sebelum dibuang. Perilaku industrialis tersebut dibatasi oleh “hukum kekekalan energy” yang mengajarkan bahwa  ketika berlangsung pemanfaatan dan proses pengolahan sumberdaya alam “energy ternyata  tidak pernah hilang”, hanya berubah bentuk menjadi “produk yang berguna” dan “produk yang tidak berguna berupa limbah”. Karena semua “industialis” berfikir demikian, maka semua/komunitas/ Negara industry (lama maupun baru)  kesemuanya terpaku dalam suatu system “mencemari tempat (bumi) sendiri, yaitu udara dan air di satu bumi, sebagai konsekuensi karena masing-masing industrialis/ komunitas/ Negara industry bersikap sebagai korporasi/ perseorangan yang bebas (liberal) dan rasional.
            Sementara udara dan air yang melingkupi bumi kita tidak dapat dipagari di masing-masing kawasan industri. Oleh karenanya, hal tersebut menjadi pertimbangan, mengapa “tragedy kebersamaan dalam kebebasan” harus dicegah demi keselamatan kita bersama melalui hukum dan atau pengaturan melalui  undang-undang atau kesepakatan global, dimana industry/komunitas industry/ Negara industry diwajibkan “membersihkan” bahan-bahan pencemaran daripada membuangnya sebelum dibersihkan.  Hanya saja, sikap “anthroposentris” yang menjargonkan “hak milik dan kebebasan pribadi”  seperti pemilik pabrik di pinggir sungai yang miliknya  terbentang luas sampai ketengah sungai, sering sulit memahami, kenapa bukan menjadi haknya yang wajar baginya untuk mengotori air atau udara yang melewati miliknya. Sejatinya, dalam praktek, nyatanya sering hukum selalu ketinggalan, karena  hukum yang harus ditegakkan memerlukan penyusunan dan bahkan peninjauan ulang untuk dapat disesuaikan dengan selera korporasi,  sehingga “tragedy industrialisasi” saat ini telah semakin  menampakkan dirinya pada skala global.
Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, perubahan iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika kita memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakannya diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al., 2002)
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada wilayah Segi-Tiga Karang, Coral Triangle, pusat dari keanekaragaman sumberdaya hayati laut tertinggi di dunia. Konsekuensi lainnya adalah perairan laut Indonesia menjadi wilayah yang sangat subur. Walaupun rakitan spesies yang kompleks agak menyulitkan dalam efisiensi eksploitasi, dia mampu menciptakan dan menumbuhkan sektor ekonomi baru dari pariwisata pesisir dan laut.
Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia sementara ini sudah terancam terdegradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over-fishing). Ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan laut kita semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, maka kita harus segera melakukan adaptasi dalam pembangunan pesisir dan lautan.
2. Perubahan Iklim Global
Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol mulai meningkat sejak tahun 1750, ketika dimulainya revolusi industri. Peningkatan gas CO2 terutama disebabkan karena pembakaran energi fosil dan perubahan tata guna lahan. Peningkatan konsentrasi gas metana dan nitri oksida  akibat pembangunan pertanian (Buddemeier et al., 2004).
Karbon dioksida gas ’anthropogenic greenhouse’ yang paling penting dalam kontribusinya terhadap kekuatan radiasi. Sejak periode pra industri konsentrasi gas karbon dioksida telah meningkat dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Peningkatan konsentrasi tertinggi terjadi terutama dalam periode waktu 10 tahun terakhir (1995 – 2005: rata-rata 1,9 ppm per tahun). Peningkatan gas methane terjadi dari 715 ppb menjadi 1732 pada tahun 1990an dan 1774 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a; Kleypas, 1999). Peningkatan gas nitri oksida terjadi dari 270 ppb menjadi 319 pada tahun 2005, terutama disebabkan oleh aktifitas pertanian (Buddemeier et al., 2004; IPCC, 2007a).
Pengaruh pemanasan global sebagai dampak dari peningkatan konsentrasi terutama oleh ketiga gas tersebut dipahami dalam bentuk kekuatan radiasi (radiative forcing). Kekuatan radiasi yang ditimbulkan terkait dengan meningkatnya karbon dioksida, methane dan nitri oksida mencapai + 2,30 W m-2. Kekuatan radiasi karbon dioksida mengalami peningkatan sekitar 20% antara tahun 1995 sampai 2005, paling tinggi dalam 200 tahun terkahir.
3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Lingkungan Pesisir dan Laut
Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: asidifikasi air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya permukaan air laut, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan rakitan spesies.

a. Asidifikasi
Peningkatan CO2 di udara sebagian besar (30%) diserap oleh laut sehingga mempengaruhi pH air laut. Dalam 100 tahun terakhir, pH air laut diperkirakan mengalami penurunan antara 0,14 sampai 0,35. Dampaknya paling jelas terlihat pada organisme dengan kerangka luar dari kapur, seperti kerang dan binatang karang.
Peningkatan kandungan CO2 dalam air laut menyebabkan berubahnya keseimbangan sistem karbonat. Pertumbuhan terumbu karang di laut sangat tergantung dari kemampuan binatang karang di dalamnya untuk menyusun kerangka luar dari kapur. Penurunan karbonat dan bikarbonat dalam air (sebagai akibat dari meningkatnya kandungan CO2) akan menurunkan kejenuhan aragonit sehingga akan memperlambat pertumbuhan terumbu karang di laut. Selain itu, kerangka kapur dari terumbu karang yang saat ini sudah kuat, bisa melemah dan terumbu karang akan mengalami erosi. Jika hal ini terjadi maka kehidupan ikan-ikan yang termasuk dalam kategori ’reef associated species’ akan terganggu. Berdasarkan perkiraan World Resource Institute melalui dokumentasi FishBase, 70% dari ikan-ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan termasuk dalam kategori reef associated species. Dengan demikian, meningkatnya kandungan CO2 di laut yang diserap dari udara, pada akhirnya akan mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat dari perikanan tangkap (Hughes et al, 2003).
Melemahnya struktur karangka kapur terumbu karang akan mengurangi fungsi lain dari ekosistem terumbu karang. Terumbu karang telah terbukti sebagai pelindung pantai dari serangan gelombang maupun tsunami. Para peneliti mencatat bahwa setengah dari energi gelombang/tsunami berkurang setelah melewati terumbu karang yang sehat. Peningkatan CO2 air laut, secara tidak langsung bisa menyebabkan abrasi pantai (Obura D.O., 2005; Nyström & Folke 2001).
Perubahan sistem karbonat air laut juga berpengaruh pada ikan. Sebagian besar spesies ikan mengalami penurunan kemampuan reproduksi pada kejenuhan aragonit yang lebih rendah. Sistem lainnya yang juga terganggu adalah tekanan osmosis dan laju metabolisme. Sebagai dampak turunannya, ikan akan semakin mudah terserang penyakit. Pada akhirnya, populasi ikan akan berkurang dan berkurang juga potensi salah satu sumberdaya bagi masyarakat pantai (Hughes et al, 2003: Nyström M and Folke C., 2001).
b. Suhu Permukaan Air Laut
Pemanasan global merupakan dampak pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim. Sekitar 80% suhu udara akhirnya diserap oleh laut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, peningkatan suhu air laut sudah mencapai kedalaman 3.000 m. Pemanasan ini membuat air laut mengembang dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut.
Peningkatan suhu permukaan air laut dalam satuan ‘degree heating weeks’ (DHW). Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga mengeluarkan simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae, binatang karang menjadi transparan, sehingga dalam skala luas hanya tampak karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini disebut dengan bleaching atau pemutihan karang (Hoegh-Guldberg, 1999; Salm & Coles, 2001)
Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir (Bellwood, Hoey & Choat, 2003)
Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang selama ini terjadi di wilayah-wilayah di luar Indonesia. Hal ini diduga karena pengaruh up welling yang banyak terjadi pada perairan di sekitar Indonesia sehingga peningkatan suhu air laut tidak terjadi dalam waktu yang relative lama. Namun tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selamat dari coral bleaching selamanya.
Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga berpengaruh pada organisme laut. Peneliti mencatat kemungkinan perubahan ratio sex pada penyu karena pengaruh pemanasan global. Secara alami, inkubasi telur penyu akan terjadi pada suhu yang relative tinggi. Akibatnya, tukik yang menetas sebagian besar akan menjadi betina (CCSP, 2003).
c. Peningkatan permukaan air laut
Pemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh laut. Hal ini akan menyebabkan volume air laut mengembang. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan mencairnya es di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin meningkatnya permukaan air laut ke arah darat. Dari pengamatan terhadap permukaan air laut selama ini, air laut diperkirakan akan mengalami peningkatan antara 60 – 100 cm dalam 100 tahun kedepan.
Meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia bisa menenggelamkan beberapa gugus pulau karang. Jika pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk mengukur batas jurisdiksi, maka hal ini bisa merubah kedaulatan negara pada akhirnya. Departemen Kelautan dan perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut.
Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan pantai, seperti hutan bakau. Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap peningkatan permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan beradaptasi untuk tumbuh ke arah daratan. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar hutan bakau sudah terisolasi oleh konstruksi atau bangunan di bagian daratan. Peluang untuk mengalami adaptasi menjadi hilang, kecuali pada tempat-tempat dimana formasi lingkungan pesisir masih cukup alami (Done et al, 2003; Salm & Coles, 2001)
d. Adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan
Pusat keanekaragaman hayati laut di dunia terletak di wilayah Segi-Tiga Karang. Wilayah ini terdiri dari sebagian besar Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Keanekaragaman hayati Laut di wilayah Segi-Tiga Karang telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Ancaman utama dari keanekaragaman hayati Laut tersebut adalah penangkapan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing). Saat ini sumberdaya tersebut sangat potencial mengalami ancaman dari sumber baru, perubahan iklim global yang diduga dampaknya akan lebih luas (IPCC, 2007b).
Mengingat besarnya kerugian dari kehilangan keanekaragaman sumberdaya hayati Laut sebagai dampak dari perubahan iklim global, Presiden Indonesia mengajak kelima negara lainnya untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam melindungi sumberdaya tersebut. Prakarsa ini terkenal dengan sebutan Coral Triangle Initiative (CTI) yang disambut oleh kelima negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang dan didukung oleh Australia dan Amerika Serikat.
Keenam negara di wilayah Segi-Tiga Karang saat ini sedang mempersiapkan rencana kerja dengan tema Perlindungan Terumbu Karang, Perikanan dan Ketersediaan Pangan. Rencana Kerja (National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara saat ini sedang dibahas pada tingkat Senior Oficial dan rencananya akan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada bulan Mei 2009 di Manado, Indonesia.
Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak perubahan iklim global tersebut terdiri dari componen: pengelolaan bentang laut (seascape Management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan ‘resilient principles’ dalam pembangunan jejaring kawasan konservasi laut, mitigasi bencana dan rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah. Semua componen dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersedian sumberdaya hayati Laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global.

4. Kesimpulan

Saat ini, perubahan iklim global telah dan akan berlanjut  memberikan dampak nyata pada kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Dampak yang paling nyata sudah terlihat melalui peristiwa
coral bleaching, kerusakan terumbu karang dan perubahan ratio sex pada tukik penyu. Negara-negara dengan potensi sumberdaya kelautan cukup besar harus segera melakukan adaptasi dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan. Indonesia mencetuskan prakarsi ’Coral Triangle Initiative’ untuk melindungi terumbu karang untuk kepentingan perikanan dan ketersediaan pangan. Prakarsa ini diikuti oleh kelima negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang serta dudukung oleh Australia dan Amerika Serikat. Disamping itu,  industrilisasi ke depan harus benar-benar memberikan jaminan  penggunaan teknologi ”green industry”. 

Industrilisasi yang awalnya  menyediakan janji kesejahteraan, pada saat ini telah menyediakan limbah udara yang berdampak luas terhadap  pemanasan dan perubahan iklim global yang mengancam  kenyamanan dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Industrilisasi, nampaknya telah memasuki tahapan ”tragedy of the common”, dalam hal ini sebagai akibat kenaikan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol yang  terus meningkatkan limbah udara  akibat laju industrilisasi tanpa kendali. Ini jelas-jelas merupakan ”tragedi industrilisasi”  yang dapat berakibat  mengerikan.
            Oleh karena itu, mengingat pilihan  kebijakan ”green industry” dan tindakan publik pelaku bisnis sangat terkait dengan cara pandang dan perilaku ”anthrophocentrist” yang semakin menghawatirkan, kiranya sangat mendesak agar pemerintah  memandu pendekatan pembangunan industri semakin menekankan etika dan perilaku penguasa negara/korporasi agar menjadi  ”rakhmatan lil alamin”, rahmat untuk sekalian alam.

DAFTAR PUSTAKA
Bellwood DR, Hoey AS and Choat J.H., 2003. Limited functional redundancy in high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs. Ecology Letters 6:281–285.
Buddemeier RW, Kleypas JA and Aronson R., 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Prepared for the Pew Center on Global Climate Change.
CCSP (Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research), 2003. Vision for the Program and Highlights of the Scientific Strategic Plan, US Climate Change Science Program,Washington DC
Done TJ, Whetton P, Jones R, Berkelmans R, Lough J, Skirving W and Wooldridge S., 2003. Global Climate Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Final report to the State of Queensland Greenhouse Taskforce. Department of Natural Resources and Mining,Townsville, Australia.

Hardin, Garrett (1969) : The Tragedy of Common, SCIENCE, Jil. 162, No. 3855, hal.1243-1248, terjemahan oleh  Smith dan Marahuddin dalam Ekonomi Perikanan. Gramedia untuk Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 3 - 22, tahun 1986.
Harvell CD, Mitchell CE,Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS and Samuel M.D., 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158–2162.
Hoegh-Guldberg O., 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world's coral reefs. Marine and Freshwater Research 50:839–866
Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nystroem M, Palumbi SR, Pandolfi JM, Rosen B and Roughgarden J., 2003. Climate Change, Human Impacts, and the Resilience of Coral Reefs. Science 301:929–933.
IPCC, 2007a. Climate Change: the physical science basis. Summary for policymakers. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., WMO-UNEP., 21 p.
IPCC, 2007b. Climate change: impacts, adaptation and vulnerability., Summary for policymakers. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., WMO-UNEP., 23 p.
Kleypas JA, Buddemeier RW, Archer D, Gattuso JP, Langdon C and Opdyke BN., 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284:118–120.
Nyström M and Folke C., 2001. Spatial resilience of coral reefs. Ecosystems 4:406–417.
Obura D.O., 2005. Resilience and climate change: lessons from coral reefs and bleaching in the Western Indian Ocean. Estuarine, Coastal and Shelf Science: Science for management in the western Indian Ocean 63:353–372.
Salm, R.V. and S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected Areas. Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching Impact Through MPA Design, Bishop Museum, Honolulu, Hawaii, 29-31 May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp.

2 komentar:

Terima Kasih atas pemikirannya yang sangat mencerahkan, pak. Saya Atrasina Adlina, mahasiswa Ilmu Kelautan dari Universitas Hasanuddin. Saya tertarik untuk membuat tulisan tentang Tragedy of Common Property di Teluk Bone, siapa tau nanti saya bisa lebih banyak berkonsultasi dengan bapak. hehe.

Semoga Bapak terus menulis tentang ilmu yang bisa mencerahkan. amien.
mari mencerahkan bangsa! :D

Jika laut memanas, daratan tempat tinggal kita pasti suhu ikut naik. Jika saat ini suhu di lingkungan kita rata-rata 28, kemudian naik menjadi 40, siapa yang bertanggung jawab ?. Jika industrilisasi berlangsung seperti saat ini, suhu daratan rata-rata 40 boleh jadi tidak lama lagi.

Posting Komentar