Jumat, 16 Desember 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN DAS BRANTAS : MODEL BAITUL UMMAH

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAWASAN
DAS BRANTAS :
MODEL BAITUL UMMAH

Oleh :
Prof. Dr. Ir. Sahri Muhammad, MS
Universitas Brawijaya/ LAZ Baitul Ummah-Malang

Disampaikan pada Seminar Nasional  Penyelamatan DAS Brantas pada  tanggal
16 Januari 2009 di Uniersitas Brawijaya


1. Pendekatan Pemberdayaan :  Heptagon Acces (Tujuh Akses)
            Menurut  Mukherjee, Hardjono dan Carriere (Bank Dunia, 2002) menyatakan bahwa    :
(1) Kemiskinan itu tidak bersifat statik, ada hubungan dinamik antara  masyarakat miskin dengan resiko dan peluang kehidupan dari hari ke hari, naik-turun karena  pengaruh institusi dan proses perubahan itu sendiri,  dimana mereka bertindak sebagai aktor atau sebagai obyek (penerima akibat) karena sebagian faktor eksternal  berada diluar jangkauannya.
(2) Bahwa masyarakat yang tidak berdaya mudah terserang menjadi miskin karena datangnya resiko terhadap mata pencahariannya.
(3) Ancaman kemiskinan terhadap masyarakat yang tidak berdaya bersifat bertingkat (multiple thread) terhadap kehidupannya.
            Menurut Bank Dunia (Mukherjee at al. ,2002), kajian faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat miskin  dapat difokuskan pada empat  sasaran , yaitu :
(1) Akses segilima (pentagon)  aset yang menjadi milik  dan atau berada dalam jangkauan rumahtangga masyarakat miskin, yaitu : (a)  SDM rumahtangga miskin,  (b) modal sumberdaya alam, (c) aset finansial, (d) aset fisik, dan (e) modal sosial.
(2) Faktor mudahnya masyarakat tidak berdaya  menjadi miskin karena prubahan lingkungan kependudukan, sumberdaya, ekonomi lokal, teknologi dan lingkungan sosial.
(3) Faktor transformasi struktur dan proses kelembagaan karena perubahan kebijakan dan intervensi pemerintah; dan
(4) Faktor strategi masyarakat miskin dalam  mengembangkan kehidupannya berdasarkan permasalahan, sumberdaya yang tersedia dan solusinya seperti  apa yang dilihat oleh masyarakat miskin itu sendiri.
            Lebih lanjut, menurut Sumodiningrat (1998) peningkatan kapasitas SDM penduduk miskin memerlukan perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi terhadap empat hal, yaitu akses terhadap : (1) sumberdaya alam, (2) teknologi ramah lingkungan, (3) pasar dan (4) sumber pembiayaan.  Selain itu diperlukan penguatan tiga akses lainnya, yaitu terhadap  (1) Asosiasi Jaringan Kelompok Usaha Bersama untuk penguatan Alternatif Mata Pencaharaian (AMP) , (2) .Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan (3) Penganggaran Pembangunan Masyarakat Pesisir (Muhammad, dkk., 2006/07).  Dengan demikian pemberdayaan  rumahtangga  masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan memerlukan penguatan tujuh akses (heptagon access). Model pemberdayaan heptagon access merupakan perluasan  implimentasi model pemberdayaan pentagon asets. Dengan demikian  penanggulangan  kemiskinan adalah bersifat multi dimensi dan multi tingkat secara komprehensif (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat miskin pada dasarnya perlu dilakukan secara bertahap  yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik (Fridman, 1973). Upaya pemberdayaan dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai berikut.

(a) Pemberdayaan Individu (Houshold Model)

Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.
Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri, memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber-sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut
  1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, pendidikan, perumahan, air bersih, kesehatan dan transport). Penyediaan fasilitas air bersih dan transportasi yang baik, akan sangat membantu individu-individu untuk memanfaatkan waktunya bagi kegiatan-kegiatan ekonomi produktif. Juga informasi dan pelayanan kesehatan harus tertuju langsung pada jarak yang relatif dekat terhadap setiap individu;
  2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri bahwa para individu berkemampuan  untuk menularkan atau menarik individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung kedalam kegiatan usahanya;
  3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga, antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter-generational continuity).

(b)  Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model) : Penguatan Permodalan dan Pemasaran

Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga)  satu dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan, kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga. Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya.
Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) keterampilan dan (3) modal yang dimiliki oleh keluarga-keluarga nelayan di daerah pesisir ke dalam domain-domain  (a) ekonomi,  (b) politik, dan (c) sosio-kultural. Penguatan hubungan ikatan ini berlangsung secara bertahap mengikuti suatu lintasan spiral mulai dari penguatan individu, antar kelompok, terus naik ke atas menuju pada domain sosial­-politik yang lebih luas lagi, sampai pada domain ekonomi meso dan makro. Dalam kaitan ini, konsep keterkaitan (linkage) menjadi sangat penting, sehingga diperlukan adanya aktor (organizer) yang dapat dan mampu memainkan atau menggerakkan spiral ini dari bawah (tingkat individu) sampai pada tingkat ekonomi meso dan makro secara institusional.
Sangat disadari, bahwa didalam perjalanannya dalam praktek pemberdayaan, lintasan spiral  institusional  ini akan banyak menghadapi paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal, (3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologi-sosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah  untuk membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut :
  1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat, dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang hidup di dalam masyarakat.
  2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat berlanjut antar keturunan atau antar generasi (inter-generational continuity);
  3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio­ kultural yang telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional (kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki dasar-dasar keterkaitan sosio-kultural dalam komunitas masyarakat DAS Brantas;
  4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosial-ekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam rangka membawa lintasan spiral tersebut keatas. Dalam tingkatan ini, selain diperlukan adanya aktor (organizer) pemimpin  yang mampu membawa lintasan spiral ini keatas, juga diperlukan adanya pemberdayaan politik yang menyertainya.

(c) Pemberdayaan Kelembagaan  (Institution Model) : Penguatan Akses Kebijakan Pembangunan


Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi (economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy" dan "multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk masyarakat miskin di wilayah DAS Brantas. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para pemduduk miskin  kedalam proses pembuatan kebijkan dan struktur akumulasi kapital dari "multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin  di pesisir ini adalah sebagai berikut:
  1. Bahwa pemberdayaan kelembagaan  yang dituju disini adalah terbentuknya kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power), dan kekuatan sosial (social power) masyaralat miskin.;
  2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada negara (state), inti kekuatan terletak pada lembaga-lembaga formal kepemerintahan dan perangkat-perangkat hukum yang dimiliki yang menjangkau masyarakat sampai tingkat pedesaan DAS Brantas. Pada kekuatan sosial (civil society), inti kekuatan terletak pada institusi keluarga melebar ke institusi sosial (keagamaan, kesenian, dan sebagainya). Pada kekuatan ekonomi, inti kekuatan terletak pada institusi-institusi yang berujud dalam korporasi dan atau  kegiatan / jaringan ekonomi sampai pada tingkat lokal .
  3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik disini akan mengarah pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga miskin di DAS Brantas dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan jaringan ekonomi baik regional maupun nasional.
Secara praksis, langkah-langkah  pemberdayaan politik  adalah sebagai berikut :
  1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil society" yang memiliki kekuatan tawar (bargaining position);
  2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung (backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan sosial masyarakat DAS Brantas dengan jaringan ekonomi regional, nasional dan internasional;
  3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan ekonomi regional dan nasional  diminta untuk membuka pasarnya bagi produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas masyarakat miskin, atau memberikan sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di daerah DAS Brantas melalui mekanisme sub-kontrak, CSR (Cor[orate Social Rasponsibility) dan bentuk kemitraan yang sesuai sosial budaya masyarakat DAS Brantas..
Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat DAS Brantas dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan (empowerment) lebih diartikan sebagai penguatan territory based identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat DAS Brantas, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan  yang berbasis teritori  lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan atas nama pembangunan. Dengan demikian proses pengembangan masyarakat DAS Brantas, seyogyanya tidak didasari oleh rencana standar  yang sama dan/atau seragam untuk seluruh wilayah, namun di dasarkan pada kondisi dan potensi sumber daya alam, SDM / pemimpin  dan kegiatan usaha yang ada dan akan berkembang di tingkat lokal maupun kawasan..

2. Model Pemberdayaan  Baitul Ummah
          Baitul Ummah adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  yang bergerak dalam kegiatan sosial keagamaan dengan fokus kegiatan dalam  pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat miskin dan anak jalanan, disamping pemberdayaan muallaf, budak, terlilit hutang, fie sabilillah (delapan asnaf). Baitul Ummah berarti Rumah Kita yang  mengandung makna, siapapun yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan ini menyatu dalam satu filosofi  laksana  Rumah Tangga . Keluarga Besar (Extended Family) . Disitu terdapat Kepala/ Ibu Rumahtangga  hidup dalam kebersamaan dan saling peduli bersama Anak-Anaknya, Saudara dan Ponakan-Ponakannya. Mereka  hidup rukun dan saling peduli melewati perjalanan hidup di dunia menuju tujuan akhir hidup bahagia di dunia dan akhirat.
          Dalam keluarga besar ini diantaranya ada yang sukses iman dan ekonominya (kita sebut Muzaki) dan sebagian  belum meraih sukses (kita sebut Mustahik). Sebuah keluarga yang saling peduli. Keluarga Besar ini  hidup rukun dalam Rumah Kita   (Baitul Ummah). Yang mampu peduli menolong  warga yang belum mampu. Keduanya meyakini bahwa kehidupan ini seperti roda pedati, membawa beban  dan tanggung jawab beribadah kepada Allah SWT, terkadang berada diatas, terkadang berputar berada didawah. Kehidupan ini memang silih berganti. Persoalannya adalah  kita tetap berlomba siapa yang paling taqwa. Dalam hal ini, Pengurus Baitul Ummah berperan sebagai layaknya Kepala  Rumahtangga.
          Baitul Ummah didirikan   tanggal  08 Nopember 2007, BH. Notaris Nurul Rahadianti SH, No. 14. Visi, Misi unruk   Filosofi pemberdayaan yang dipilih mengacu pada prinsip :

(1) Berkelanjutan
          Hasil penelitian Bank Dunia tentang  kendala  program pemberdayaan masyarakat di negara sedang berkembang adalah  sangat dibatasi oleh periode proyek dari funding nasional maupun internasional. Disadari  untuk meraih perubahan sosial yang bermakna, terlebih lagi  masalah  ekonomi jelas membutuhkan “program berkelanjutan” sampai mencapai tujuan program, sebut saja dari kondisi miskin menjadi sejahtera. Oleh karena itu, LSM Baitul Ummah didirikan dengan sandaran pada “dukungan dana  berkelanjutan”, walaupun mungkin jumlahmya kecil. Dukungan dana yang dimaksud adalah berupa Zakat, Infak, Shadaqah, Wakaf, Hibah dan dukungan dana  sukarela bentuk lainnya. Selama dua tahun ini, 2007 -2009, Baitul Ummah telah memperoleh dukungan dana yang dimaksud.

(2) Multi-Tahun : Untuk Perubahan
          Perubahan sosial-ekonomi  masyarakat miskin dalam bentuk apapun sulit diharapkan akan bisa diraih dalam skala waktu (time scales)  satu atai dua tahun. Berdasarkan hasil penelitian  tentang pemberdayaan  berbagai kelompok sasaran, khususnya jkelompok sasaran tidak lulus Sekolah Dasar,  perubahan  sikap  dari tergantung menjadi mandiri melalui program pemberdayaan  sekurang-kurangnya memerlukan waktu proses pendampingan  sekurang-kurangnya  sekitar lima tahun.
          Kemudian, lima tahun kedua kita masih menghadapi kendala lebih mendalam, yaitu motivasi kelompok sasaran. Berdasarkan pengalaman pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat,  baru akan dapat diharapkan   terjadi perubahan yang sangat menentukan  ketika  terjadi  perubahan motivasi  kelompok sasaran untuk memutuskan secara mandiri dan bersemangat mereka bertekad untuk memperbaiki kesejahteraannya sessuai dengan kemampuan dan harapannya masing-masing. Dengan keyakinan  time scales tersebut, Baitul Ummah  menentukan target tahun 2015, terbentuk 50 Kelompopk  Usaha Pemberdayaan, masing-masing Kelompok Usaha beranggotakan  20 orang/ Rumah Tangga. Dengan kata lain. Baitul Ummah sebagai Kepala Keluarga  Besar sedang menyiapkan Program Model Kemitraan Sosial., Saling Peduli Seribu Muzaki Untuk Seribu Mustahik.
          Untuk mencapai kondisi perubahan yang diharapkan  Rumah Tangga keluarga Baitul Ummah disusun  dalam suatu organisasi pendampingan pemberdayaan melalui  institusi tingkat kelompok yang berkembang secara partisipatori anggota Mustahik dalam bentuk Tempat Pelayanan Amanah Keuangan Mikro (TPA-KM)

(3) Berbasis Kerarifan  Masyarakat Lokal : DAS Brantas
          Filosofi ketiga yang mendasari landasan kerja pemberdayaan Model Baitul Ummah adalah  petunjuk Nabi Muhammad, SAW tentang kelembagaan dan sasaran pemberdayaan yang ditekankan  agar berbasis pada  kearifan masyarakat  lokal :

            Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : “Ketika Nabi saw., hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda : “Sesungguhnya engkau (Mu’adz), akan mengunjungi suatu kaum dari Ahli Kitab (di Yaman). Begitu kamu tiba menjumpai mereka, hendaklah kamu seru mereka untuk bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan (Yang wajib disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka mentaati seruanmu itu, informasikan kepada mereka bahwa Allah memfardukan kamu supaya melakukan salat lima kali dalam sehari-semalam. Jika mereka juga mentaati seruanmu itu, maka hendaklah kamu kabari bahwa Allah swt. juga mewajibkan zakat kepada mereka untuk kemudian diserahkan (dibagikan) kepada orang-orang fakir yang ada di tengah-tengah mereka.....” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Al-Nisa’i)
         
          Selanjutnya  dialog Mu’adz dengan Nabi adalah sebagai berikut :
Nabi       : Muadz, apa tindakanmu jika kepadamu diajukan sebuah kasus (perkara) ?
Mu’adz   : Akan aku putuskan berdasarkan Kitab Allah (Al-Quran) !
Nabi        : Jika kamu tidak dapatkan dalam Al-Quran?
Mua’adz : Akan aku putuskan menurut Sunnah Rasulullah !
Nabi      : Jika tidak ada (juga) ?
Mua’adz : Aku akan berijtihad dengan seksama !

          LAZ Baitul Ummah telah menyiapkan titik-titik TPA-KM DAS Brantas  sampai tahun 2015. Pada lima tahun pertama ini, Baitul Ummah  fokus pada sasaran kelompok Mustahik  di Kawasan DAS Brantas Hulu, khususnya di Malang Raya. Pada tahun selanjutnya   mengacu pengalaman DAS Brantas Hulu, selanjutnya akan bergerak ke kawasan DAS Brantas Tengah dan DAS Brantas Hilir.

3. Baitul Ummah Peduli  : Tidak Sekedar Layanan Modal
          Sampai akhir tahun 2009 Daftar Kelompok Tempat Pelayanan Amanah Keuangan Mikro  (TPA-KM) Baitul Ummah telah tersusun. Ada Tata-Cara kerja pembentukan TPA-KM. Pengalaman pemberdayaan  masyarakat Kawasan DAS Brantas sepanjang tahun  2007 – 2009  secara umum  dapat disimpulkan bahwa :

“untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, tidak bisa hanya dengan memberi modal kepada mereka. Banyak aspek yang perlu dikembangkan agar pemberdayaan masyarakat berjalan dengan baik”.

Pelayanan modal hanya menyentuh aspek materi. Sekedar memberikan modal belum menjawab pertanyaan semisal bagaimana saya mengelola modal ini? Sanggupkah saya menerima modal ini ? Dan lain sebagainya.. Permasalahan inilah yang dicoba untuk diatasi oleh LAGZIS Baitul Ummah. LAGZIS Baitul Ummah menggunakan sistem pembinaan yang melibatkan tenaga sukarelawan sebagai Pendamping untuk membina masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok pembinaan, yang disebut Tempat Pelayanan Amanah Keuangan Mikro (TPA-KM).
Ada tiga aspek yang menjadi bagian inti dari pembinaan.  Aspek pertama adalah yang terkait dengan pengembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Kedua adalah aspek motivasi untuk mengembangkan diri. Ketiga adalah aspek akidah sebagai factor yang memberikan makna terhadap usaha yang dicoba dikembangkan. Ketiga aspek diatas bukanlah tiga hal yang saling berdiri sendiri. Ketiga-tiganya adalah faktor penting dalam pemberdayaan masyarakat yang diusahakan untuk sinergis.


1. Aspek Modal
Ketika berbicara mengenai pemberdayaan, memang tidak bisa terlepas dari yang namanya modal atau dalam istilah LAGZIS Baitul Ummah disebut dengan amanah. Dalam menjaga kelancaran aliran amanah ini, LAGZIS Baitul Ummah menerapkan strategi berupa memotivasi para mustahik untuk berinfaq, menabung dan bersedekah. Berinfaq adalah kegiatan menyisihkan uang sebesar 2 % tiap minggunya dari total amanah yang diperoleh. Menabung dan shadakah bersifat sukarela. Kegiatan menabung didasarkan pada kesadaran untuk tidak segera menghabiskan uang yang diperoleh dari usahanya. Sedangkan shadakah adalah wujud kepedulian untuk saling membantu sesama. Hasil infaq dan shadaqah diputar di dalam kelompok. Anggota dari kelompok tersebut dapat memperoleh manfaat dari adanya perputaran uang seperti ini. Sehingga mereka dapat mengembangkan usaha yang dijalankan.


2. Aspek Motivasi
Selain membina aspek materi berupa sisi ekonomi dari pemberdayaan, tim Pembina LAGZIS Baitul Ummah juga membangun sisi motivasi para mustahik. Selama menjadi bagian dari kelompok binaan sering diumpai bahwa masyarakat miskin  memiliki kendala berupa kepercayaan terhadap diri mereka sendiri. Salah satu pengalaman Baitul Ummah adalah ketika membina Ibu Mustahik. Sebelum bergabung dengan kelompok binaan LAGZIS Baitul Ummah, Ibu MUSTAHIK ini beraktivitas sebagai peminta-minta. Aktivitas ini tidak mampu untuk membebaskan ibu Mustahik dari lingkaran kemiskinan.
Ketika di ajak untuk bergabung dengan kelompok binaan LAGZIS Baitul Ummah, Ibu Mustahik ini sempat ragu. Beliau tidak tahu usaha apa yang dapat dijalankannya. Keraguan ini pun dibahas bersama di dalam kelompok binaan. Motivasi awal yang diberikan kepada Ibu Mustahik adalah dengan menjalankan usaha kecil dan mudah. Beliaupun menerima amanah dari LAGZIS Baitul Ummah sebesar Rp. 250.000,- Saat ini, Ibu Mustahik sudah tidak meminta minta lagi. Beliau sudah memiliki warung pecel sendiri.
Berkaca dari kejadian ini para anggota kelompok  mulai disadarkan  sebuah  berprinsip bahwa :

”Allah telah  memuliakan manusia, sungguh dzalim jika justru manusia sendiri yang tidak memuliakan sesamanya”.

            Prinsip ini yang dipegang erat dalam membina masyarakat. Kepercayaan diri harus dibangung guna membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Kesuksesan adalah hal yang sangat bisa untuk diwujudkan oleh siapa saja di muka bumi ini. Dalam mendefinisikan suskes ini, para Pendamping Pemberdayaan Baitul Ummah menggunakan ajaran Islam. Sukses yang hakiki adalah sukses dunia akhirat. Keyakinan ini pula yang dicoba ditanamkan kepada Mustahik. Akidah menjadi aspek ketiga yang diperhatikan oleh LAGZIS Baitul Ummah.
Dalam hal ini, para Pendamping Baitul Ummah  memiliki kiat  dalam membangun akidah para mustahik. Mereka dianjurkan agar 5 menit pertama sebelum tidur untuk menyerahkan semua permasalahan kepada Allah untuk menyerahkan semua permasalahan kepada Allah SWT Kemudian pada 5 menit kedua, mintalah kepada Allah bagaimana agar permasalahan ini dapat diselesaikan. Dan akhirnya di 5 menit terakhir, membayangkan bahwa semua permasalahan ini sudah dikabulkan oleh Allah, dan belajarlah untuk bersyukur. Apakah para pembaca mau mencobanya ?

Masalah fundamental terkait dengan pemberdayaan Mustahik ini adalah  menyangkut persepsi Mustahik terhadap rizeki. Dalam kaitan ini, kita lebih dalam lagi memahami perbedaan (bashirah) antara tawakkal versus kelemahan jiwa. Menurut Ibn Qayyim, perbedaan antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1)  Tawakkal adalah amalan hati dengan cara bersandar kepada Allah, dan yakin kepadaNya, bergantung dan pasrah kepadanya, ridha kepada  apa yang ditetapkanNya, karena dia mengetahui tentang kecukupan Allah, pilihanNya yang terbaik bagi hamba dan yang diberikan kepadanya, tapi juga tetap melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan dan berusaha untuk mendapatkannya. Nabi SAW. adalah orang yang paling bertawakkal. Meskipun begitu ia tetap menggunakan baju besi dan tameng dalam medan pertempuran. Bahkan beliau berlindung dengan menggunakan dua lapis baju besi sewaktu perang Uhud, bersembunyi di gua selama tig hari dari kejaran orang-orang musyrik Makkah. Beliau bertawakkal dalam sebab dan bukan dengan mengabaikan sebab. Sedangkan kelemahan jiwa berusaha ialah mengabaikan dua perkara atau salah satu diantara keduanya, entah mengabaikan sebab karena ketidak mampuannya dan menganggap bahwa demikian itu adalah tawakkal, padahal, kata Ibn Qayyim, itu adalah kelemahan atau pengabaian, atau ia melaksanakan sebab, memandang dan bersandar kepadanya, dengan melalikan  Pembuat sebab (sunnatullah) dan bahkan berpaling dariNya (tidak memperdulikan sunnatullah), tidak menggantungkan hatinya seutuhnya. Ini namanya tawakkal yang lemah dan kelemahannya dianggap tawakkal. Menurut Ibn Qayyim, tawakkal kepada Allah ada dalam sebab itu sendiri. Adapun orang yang mengabaikan sebab, lalu dia menganggap bertawakkal, maka dia adalah orang yang terkecoh bahkan tertipu karena dikuasai oleh angan-angannya. Atau seperti orang yang mengabaikan tanaman dan pengolahan benih, dan dia bertawakkal dalam penanaman, atau seperti orang yang mengabaikan makan dan minum, dan dia bertawakkal untuk kenyang. Tawakkal semacam harapan, dan  kelemahan berusaha  semacam berangan-angan.
(2)  Kata Ibn Qayyim, orang yang lemah dalam usaha, melemparkan Allah SWT. yang telah memerintahkan hambanya untuk mencari alasan (sebab) dan juga bertawakkal kepada Nya, sehingga dengan alasannya itu dia bisa menghasilkan sesuatu yang maslahat baginya. Orang yang lemah ini berkata :”Rezeki akan mendatangi sendiri orang yang memang berhak menerimanya, sebagaimana ajal yang akan mendatangi orang yang memang ajalnya sudah tiba. Apa yang sudah ditetapkan bagiku akan datang sendiri meskipun aku dalam keadaan lemah tak berdaya. Aku tidak akan menerima apa yang tidak ditetapkan bagiku, meskipun aku dalam keadaan kuat perkasa. Sekiranya aku lari dari rezekiku sebagaimana aku lari dari kematian, toh ia akan tetap bersua denganku. Kata Ibn Qayyim, kita harus berhati-hati menangkap pernyataan tersebut.  Dapat dikatakan kepadanya :”memang semua itu benar. Engkau juga sudah tahu, bahwa rezeki itu sudah ditakdirkan. Tapi bagaimana engkau tahu, bahwa rezeki itu sudah ditetapkan bagimu, dengan usahamu sendiri atau dengan usaha orang lain ?. Jika dengan usahamu sendiri, maka dengan sebab seperti apa ?. Jika semua itu tidak engkau ketahui, lalu dari mana engkau tahu bahwa rezeki yang ditetapkan bagimu itu datang secara spontan tanpa ada usaha begini dan begitu ?. Dalam membina Mustahik untuk lepas dari kemiskinannya, penguatan sikap perilaku tawakkal yang benar melalui  penanaman pemahaman terhadap perolehan rezeki adalah sangat penting.
Aspek akidah juga diwujudkan dengan menjadikan musholla/ masjid sebagai basis aktivitas pemberdayaan masyarakat. Upaya revitalisasi musholla ini menjadi hal penting, mengingat selama ini seringkali agama dilihat sebatas ritual halal/haram,. Dengan menjadikan musholla sebagai tempat berkumpul, harapannya masyarakat dapat melihat agama sebagai hal yang lebih dari sekedar ibadah formal. Dengan demikian pandangan hidup dalam menjalankan usaha adalah pandangan dunia dan pandangan akhirat.
Ketiga aspek diatas  terangkum dalam MISI Pemberdayaan TPA-KM, yaitu :  1) Membangun budaya amanah,
2) Rajin berinfaq,
3) Rajin menabung dan
4) Usaha produktif.
            Sementara itu, ethos kerja yang menjadi dasar TPA-KM adalah: Rabbani, amanah, mandiri, kerjasama kelompok, partisipasi, ikhlas, produktif dan professional.
Nah, bagaimanakah langkah Tim Pemberdayaan LAGZIS Baitul Ummah kedepannya ? Dalam hal ini, Tim Pemberdayaan memiliki target untuk membebaskan masyarakat dari pengangguran.. Masyarakat harus memiliki usaha mandiri. Dengan cara ini, diharapkan  masyarakat dapat membebaskan dirinya dari jeratan kemiskinan.

4. Penutup : Menjalin Bisnis Bersama
          Akses modal untuk pengembangan usaha disadari bukan segalanya.  Ada tujuh akses (Heptagon Akses) yang harus dibina secara bertahap. Pada tahap selanjutnya masyarakat Mustahik bersama Tim Pendamping sedang merumuskan  untuk mengembangkan pasar  “model bisnis bersama.”  Model ini didasarkan pada kepercayaan bahwa usaha berjamaah lebih baik daripada usaha sendiri-sendiri. Begitu selanjutnya, perubahan demi perubahan  menjadi bagian penting dalam proses pemberdayaan oleh  Baitul Ummah.



















Senin, 12 Desember 2011

TRAGEDI INDUSTRILISASI

TRAGEDI INDUSTRIALISASI TIDAK RAMAH LINGKUNGAN :
DAMPAK TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR 
Oleh:

Sahri Muhammad, D. Gede R. Wiadnya, Darmawan O. Sutjipto (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Universitas Brawijaya Malang)

Makalah ini disajikan pada acara Seminar Nasional Pemanasan Global: Strategi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, di Universitas Brawijaya Malang,
pada hari Sabtu 31 Januari 2009

Renungan Krisis Lingkungan Global Abad Ke XXI : Rujukan Al Qur’an.

Rujukan 1 :
6. Dan apabila lautan dipanaskan (suhu naik)*)
14. Maka tiap-tiap jiwa (manusia)  akan mengetahui (menyadari?) apa yang telah dikerjakannya
27. Ia (Al Qur’an) itu tiada lain hanyalah  Adz Dzikraa (rujukan, pengingat) bagi semesta alam (seluruh komponene lingkungan kehidupan)
28. (Rujukan)  bagi siapa saja diantara  kamu (seluruh manusia) yang ingin menempuh jalan yang lurus
(Al Qur’an, At Takwir, 81 : ayat 6, 14,  27 dan 28)

Rujukan 2 :
  1. Allah Yang Maha Pemurah
  2. Yang telah mengajarkan Al Qur’an.
  3. Dia menciptakan manusia.
  4. Mengajarnya pandai berbicara.
  5. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.
  6. Bintang-bintang  dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNys**).
  7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan (dalam keadaan) seimbang.
  8. Agar kanu (manusia) jangan melampaui batas keseimbangan itu.
  9. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu (manusia) mengganggu keseimbangan itu.
12 Maka (konsep, ayat, nikmat) Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?
(Q, Ar Rahman, 55 : 1-9)
Keterangan :
*)  Pemanasan global akibat emisi karbon melebihi batas keseimbangan  alam, berdampak terhadap  kenikmatan hidup di dunia akan berkurang, berdampak luas seperti perubahan iklim , termasuk  punahmya kehidupan banyak jenis makhluk, termasuk manusia.
**) Fungsi pohon-pohonan adalah menjadi  kunci (berbakti kepada Allah SWT. dengan ikhlas, tanpa pamrih) dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan sebagai penyerap carbon (CO2) dengan bantuan sinar matahari  (fotosinthesis) menghasilkan oksigen (O2), tentu saja  untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Manusia pantas mempertimbangkan “gerakan menanam pohon”.

Ringkasan:
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan fenomena bahwa ”tragedi industrialisasi”   telah nampak berupa perubahan iklim yang merupakan ancaman global yang sangat serius dan kita harus mempersiapkan rencana di tingkat global untuk mengatasi dampaknya. Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya permukaan air laut, asidifikasi, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan rakitan spesies. Antisipasi secara lokal untuk mengurangi perubahan iklim hampir tidak bermanfaat, sehingga pengelola wilayah pesisir dan lautan harus segera melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Makalah menyinggung secara ringkas sistem peringatan dini, mitigasi bencana dan membangun jejaring kawasan konservasi laut yang tangguh (resilient) untuk menghindar dari ”tragedi”  perubahan iklim global.
Key words :  tragedi, industrialisasi, iklim, global, pesisir.

1. Pendahuluan
Temuan ilmiah sudah semakin jelas: perubahan iklim menjadi ancaman global yang sangat serius terhadap kehidupan di bumi. Sementara negara berkembang di wilayah tropis masih kesulitan untuk mengatasi ’local-anthropogenic threat’, ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan lebih menyulitkan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut (IPCC, 2007a). Berdasarkan kajian praktisi, pakar dan peneliti, ”kita masih bisa berpacu dengan waktu untuk menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk, jika kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang cukup kuat”.
            Kata ”tragedi”  mengacu tulisan Hardin (1969) tentang : ”The Tragedy of the Common” mengingat  udara dan laut sebagai ”milik bersama”  diyakini sebagai jantung kehidupan, selama  200 tahun terakhir telah memperoleh beban limbah udara yang dihasilkan oleh  kegiatan industrilisasi, dampaknya semakin hari semakin dikhawatirkan  tidak tertanggungkan. Udara dan laut pelindung bumi milik kita bersama semakin hari semakin mamanas. Tragedi”  dimaknai  bukan terletak pada kradaan “ketidakbahagiaan”, namun terletak pada  “berlakunya keadaan yang benar-benar kejam” sebagai suatu “nasib kehidupan duniawi yang tak terhindarkan dengan kejadian-kejadian yang menyebabkan ketidakbahagiaan, dimana pelarian dari keadaan tersebut menjadi sia-sia’ (Filsuf Whitehead, dari Garrett Hardin, 1969). Menurut Hardin, tragedy kebersamaan berlangsung  mengikuti alur proses  (sunnatullah) sebagai berikut :

(1)   Bayangkan suatu padang rumput yang tersedia untuk semua orang.

(2)   Dapat dibayangkan setiap gembala akan mencoba menggembalakan sebanyak mungkin sapi di padang rumput itu.
(3)   Penyelenggaraan demikian berlangsung dengan cukup memuaskan selama berabad-abad, ketika jumlah manusia dan hewan ternak masih berada dibawah daya dukung lahan gembalaan.
(4)   Namun akhirnya tibalah masa perhitungan, yaitu pada waktu stabilitas social telah menjadi kenyataan, pada saat mana logika bawaan kebersamaan tanpa belas kasihan menimbulkan tragedy.Sebagai makhluk yang berakal, setiap gembala akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan.
(5)   Dengan diam-diam atau setengah sadar, ia akan bertanya faedah yang akan diperoleh dengan menambahkan satu atau lebih kawasan ternaknya.
(6)   Tragedi muncul ketika  jumlah ternak gembalaan telah melampaui ketersediaan dan daya dukung lahan rerumputan gembalaan, dimana  para peternak menghadapi “kehancuran bersama”.
(7)   Secara terbalik, tragedy kebersamaan itu muncul dalam persoalan pencemaran. Disini, soalnya bukan mengambil suatu lahan dari kebersamaan, tetapi memberikan limbah  pada lingkungan milik bersama, yaitu bumi yang satu”.
Oleh karena itu, harus disadari bahwa pengembangan industrialisasi  mengandung komponen positif dan negative sebagai berikut :
(1)   Komponen positif, yaitu fungsi tambahan satu unit industry menyediakan janji bagi pemilik industry berupa perolehan penghasilan, disamping perluasan lapangan kerja dari tambahan satu unit pabrik. Manfaat  positif tersebut kita memberi nilai plus satu.
(2)   Komponen negative, yaitu fungsi “penambahan pencemaran air dan udara” disebabkan oleh bertambahnya satu unit industry. Tambahan cemaran air dan udara tersebut diderita sama-sama oleh semua penduduk bumi, maka  menjadi manfaat negative bagi pemilik pabrik dan public di seluruh bumi, yang berarti menyediakan nilai minus satu untuk kehidupan di bumi.
Dengan menjumlahkan manfaat parsial  komponen  industrialisasi, maka pemilik / negara industri  cenderung mengambil kesimpulan sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk dilakukannya, yaitu menambah “unit industry” di negaranya masing-masing. Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan setiap dan  semua pemilik/komunitas/Negara yang berakal, demi pembangunan bangsanya, berlomba  mengembangkan dan menyebarluaskan di negaranya masing-masing. Menurut Hardin (1969), dari sini letak terjadinya tragedy itu, yaitu setiap orang pengembang industrialisasi terikat oleh system yang mendorong untuk memperbanyak industrinya  relative tanpa batas di bumi yang diyakini terbatas. Maka “kehancuran” cepat atu lambat menunggu datangnya “nasib” yang akan dihadapi semua orang, dimana masing-masing berlomba mengejar kepentingannya sendiri, dalam suatu masyarakat yang  percaya akan nikmat “kebebasan/ liberalisme dalam kebersamaan”. Kebebasan dalam kebersamaan telah menyediakan nasib  (tragedy) “kehancuran buat semua”.
            Dalam “tragedy industrialisasi” yang menjadi soal, sebagaimana telah disebutkan,  bukan berebut lahan “gembalaan ternak dari kawasan lahan rerumputan untuk pakan ternaknya”, tetapi pada “tragedy industialisasi” masing-masing pabrik memberikan sesuatu dalam bentuk limbah udara atau air, berupa kotoran kimia (seperti CO2, NH4, NO2, aerosol), radio-aktif dan panas kedalam air dan udara,  gas beracun dan berbahaya ke udara yang berakumulasi merusak lingkungan. Industrialis yang berakal mengetahui bahwa bagian biaya yang harus dikeluarkan untuk limbah yang dibuang kedalam “lingkungan bersama”, yaitu udara dan air,  adalah kurang  dari biaya yang dikeluarkan seandainya limbah itu “dibersihkan” (green industry)  lebih dahulu sebelum dibuang. Perilaku industrialis tersebut dibatasi oleh “hukum kekekalan energy” yang mengajarkan bahwa  ketika berlangsung pemanfaatan dan proses pengolahan sumberdaya alam “energy ternyata  tidak pernah hilang”, hanya berubah bentuk menjadi “produk yang berguna” dan “produk yang tidak berguna berupa limbah”. Karena semua “industialis” berfikir demikian, maka semua/komunitas/ Negara industry (lama maupun baru)  kesemuanya terpaku dalam suatu system “mencemari tempat (bumi) sendiri, yaitu udara dan air di satu bumi, sebagai konsekuensi karena masing-masing industrialis/ komunitas/ Negara industry bersikap sebagai korporasi/ perseorangan yang bebas (liberal) dan rasional.
            Sementara udara dan air yang melingkupi bumi kita tidak dapat dipagari di masing-masing kawasan industri. Oleh karenanya, hal tersebut menjadi pertimbangan, mengapa “tragedy kebersamaan dalam kebebasan” harus dicegah demi keselamatan kita bersama melalui hukum dan atau pengaturan melalui  undang-undang atau kesepakatan global, dimana industry/komunitas industry/ Negara industry diwajibkan “membersihkan” bahan-bahan pencemaran daripada membuangnya sebelum dibersihkan.  Hanya saja, sikap “anthroposentris” yang menjargonkan “hak milik dan kebebasan pribadi”  seperti pemilik pabrik di pinggir sungai yang miliknya  terbentang luas sampai ketengah sungai, sering sulit memahami, kenapa bukan menjadi haknya yang wajar baginya untuk mengotori air atau udara yang melewati miliknya. Sejatinya, dalam praktek, nyatanya sering hukum selalu ketinggalan, karena  hukum yang harus ditegakkan memerlukan penyusunan dan bahkan peninjauan ulang untuk dapat disesuaikan dengan selera korporasi,  sehingga “tragedy industrialisasi” saat ini telah semakin  menampakkan dirinya pada skala global.
Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, perubahan iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika kita memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakannya diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al., 2002)
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada wilayah Segi-Tiga Karang, Coral Triangle, pusat dari keanekaragaman sumberdaya hayati laut tertinggi di dunia. Konsekuensi lainnya adalah perairan laut Indonesia menjadi wilayah yang sangat subur. Walaupun rakitan spesies yang kompleks agak menyulitkan dalam efisiensi eksploitasi, dia mampu menciptakan dan menumbuhkan sektor ekonomi baru dari pariwisata pesisir dan laut.
Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia sementara ini sudah terancam terdegradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over-fishing). Ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan laut kita semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, maka kita harus segera melakukan adaptasi dalam pembangunan pesisir dan lautan.
2. Perubahan Iklim Global
Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol mulai meningkat sejak tahun 1750, ketika dimulainya revolusi industri. Peningkatan gas CO2 terutama disebabkan karena pembakaran energi fosil dan perubahan tata guna lahan. Peningkatan konsentrasi gas metana dan nitri oksida  akibat pembangunan pertanian (Buddemeier et al., 2004).
Karbon dioksida gas ’anthropogenic greenhouse’ yang paling penting dalam kontribusinya terhadap kekuatan radiasi. Sejak periode pra industri konsentrasi gas karbon dioksida telah meningkat dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Peningkatan konsentrasi tertinggi terjadi terutama dalam periode waktu 10 tahun terakhir (1995 – 2005: rata-rata 1,9 ppm per tahun). Peningkatan gas methane terjadi dari 715 ppb menjadi 1732 pada tahun 1990an dan 1774 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a; Kleypas, 1999). Peningkatan gas nitri oksida terjadi dari 270 ppb menjadi 319 pada tahun 2005, terutama disebabkan oleh aktifitas pertanian (Buddemeier et al., 2004; IPCC, 2007a).
Pengaruh pemanasan global sebagai dampak dari peningkatan konsentrasi terutama oleh ketiga gas tersebut dipahami dalam bentuk kekuatan radiasi (radiative forcing). Kekuatan radiasi yang ditimbulkan terkait dengan meningkatnya karbon dioksida, methane dan nitri oksida mencapai + 2,30 W m-2. Kekuatan radiasi karbon dioksida mengalami peningkatan sekitar 20% antara tahun 1995 sampai 2005, paling tinggi dalam 200 tahun terkahir.
3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Lingkungan Pesisir dan Laut
Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: asidifikasi air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya permukaan air laut, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan rakitan spesies.

a. Asidifikasi
Peningkatan CO2 di udara sebagian besar (30%) diserap oleh laut sehingga mempengaruhi pH air laut. Dalam 100 tahun terakhir, pH air laut diperkirakan mengalami penurunan antara 0,14 sampai 0,35. Dampaknya paling jelas terlihat pada organisme dengan kerangka luar dari kapur, seperti kerang dan binatang karang.
Peningkatan kandungan CO2 dalam air laut menyebabkan berubahnya keseimbangan sistem karbonat. Pertumbuhan terumbu karang di laut sangat tergantung dari kemampuan binatang karang di dalamnya untuk menyusun kerangka luar dari kapur. Penurunan karbonat dan bikarbonat dalam air (sebagai akibat dari meningkatnya kandungan CO2) akan menurunkan kejenuhan aragonit sehingga akan memperlambat pertumbuhan terumbu karang di laut. Selain itu, kerangka kapur dari terumbu karang yang saat ini sudah kuat, bisa melemah dan terumbu karang akan mengalami erosi. Jika hal ini terjadi maka kehidupan ikan-ikan yang termasuk dalam kategori ’reef associated species’ akan terganggu. Berdasarkan perkiraan World Resource Institute melalui dokumentasi FishBase, 70% dari ikan-ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan termasuk dalam kategori reef associated species. Dengan demikian, meningkatnya kandungan CO2 di laut yang diserap dari udara, pada akhirnya akan mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat dari perikanan tangkap (Hughes et al, 2003).
Melemahnya struktur karangka kapur terumbu karang akan mengurangi fungsi lain dari ekosistem terumbu karang. Terumbu karang telah terbukti sebagai pelindung pantai dari serangan gelombang maupun tsunami. Para peneliti mencatat bahwa setengah dari energi gelombang/tsunami berkurang setelah melewati terumbu karang yang sehat. Peningkatan CO2 air laut, secara tidak langsung bisa menyebabkan abrasi pantai (Obura D.O., 2005; Nyström & Folke 2001).
Perubahan sistem karbonat air laut juga berpengaruh pada ikan. Sebagian besar spesies ikan mengalami penurunan kemampuan reproduksi pada kejenuhan aragonit yang lebih rendah. Sistem lainnya yang juga terganggu adalah tekanan osmosis dan laju metabolisme. Sebagai dampak turunannya, ikan akan semakin mudah terserang penyakit. Pada akhirnya, populasi ikan akan berkurang dan berkurang juga potensi salah satu sumberdaya bagi masyarakat pantai (Hughes et al, 2003: Nyström M and Folke C., 2001).
b. Suhu Permukaan Air Laut
Pemanasan global merupakan dampak pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim. Sekitar 80% suhu udara akhirnya diserap oleh laut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, peningkatan suhu air laut sudah mencapai kedalaman 3.000 m. Pemanasan ini membuat air laut mengembang dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut.
Peningkatan suhu permukaan air laut dalam satuan ‘degree heating weeks’ (DHW). Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga mengeluarkan simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae, binatang karang menjadi transparan, sehingga dalam skala luas hanya tampak karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini disebut dengan bleaching atau pemutihan karang (Hoegh-Guldberg, 1999; Salm & Coles, 2001)
Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir (Bellwood, Hoey & Choat, 2003)
Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang selama ini terjadi di wilayah-wilayah di luar Indonesia. Hal ini diduga karena pengaruh up welling yang banyak terjadi pada perairan di sekitar Indonesia sehingga peningkatan suhu air laut tidak terjadi dalam waktu yang relative lama. Namun tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selamat dari coral bleaching selamanya.
Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga berpengaruh pada organisme laut. Peneliti mencatat kemungkinan perubahan ratio sex pada penyu karena pengaruh pemanasan global. Secara alami, inkubasi telur penyu akan terjadi pada suhu yang relative tinggi. Akibatnya, tukik yang menetas sebagian besar akan menjadi betina (CCSP, 2003).
c. Peningkatan permukaan air laut
Pemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh laut. Hal ini akan menyebabkan volume air laut mengembang. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan mencairnya es di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin meningkatnya permukaan air laut ke arah darat. Dari pengamatan terhadap permukaan air laut selama ini, air laut diperkirakan akan mengalami peningkatan antara 60 – 100 cm dalam 100 tahun kedepan.
Meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia bisa menenggelamkan beberapa gugus pulau karang. Jika pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk mengukur batas jurisdiksi, maka hal ini bisa merubah kedaulatan negara pada akhirnya. Departemen Kelautan dan perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut.
Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan pantai, seperti hutan bakau. Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap peningkatan permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan beradaptasi untuk tumbuh ke arah daratan. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar hutan bakau sudah terisolasi oleh konstruksi atau bangunan di bagian daratan. Peluang untuk mengalami adaptasi menjadi hilang, kecuali pada tempat-tempat dimana formasi lingkungan pesisir masih cukup alami (Done et al, 2003; Salm & Coles, 2001)
d. Adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan
Pusat keanekaragaman hayati laut di dunia terletak di wilayah Segi-Tiga Karang. Wilayah ini terdiri dari sebagian besar Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Timor Leste. Keanekaragaman hayati Laut di wilayah Segi-Tiga Karang telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Ancaman utama dari keanekaragaman hayati Laut tersebut adalah penangkapan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing). Saat ini sumberdaya tersebut sangat potencial mengalami ancaman dari sumber baru, perubahan iklim global yang diduga dampaknya akan lebih luas (IPCC, 2007b).
Mengingat besarnya kerugian dari kehilangan keanekaragaman sumberdaya hayati Laut sebagai dampak dari perubahan iklim global, Presiden Indonesia mengajak kelima negara lainnya untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam melindungi sumberdaya tersebut. Prakarsa ini terkenal dengan sebutan Coral Triangle Initiative (CTI) yang disambut oleh kelima negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang dan didukung oleh Australia dan Amerika Serikat.
Keenam negara di wilayah Segi-Tiga Karang saat ini sedang mempersiapkan rencana kerja dengan tema Perlindungan Terumbu Karang, Perikanan dan Ketersediaan Pangan. Rencana Kerja (National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara saat ini sedang dibahas pada tingkat Senior Oficial dan rencananya akan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada bulan Mei 2009 di Manado, Indonesia.
Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak perubahan iklim global tersebut terdiri dari componen: pengelolaan bentang laut (seascape Management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan ‘resilient principles’ dalam pembangunan jejaring kawasan konservasi laut, mitigasi bencana dan rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah. Semua componen dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersedian sumberdaya hayati Laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global.

4. Kesimpulan

Saat ini, perubahan iklim global telah dan akan berlanjut  memberikan dampak nyata pada kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Dampak yang paling nyata sudah terlihat melalui peristiwa
coral bleaching, kerusakan terumbu karang dan perubahan ratio sex pada tukik penyu. Negara-negara dengan potensi sumberdaya kelautan cukup besar harus segera melakukan adaptasi dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan. Indonesia mencetuskan prakarsi ’Coral Triangle Initiative’ untuk melindungi terumbu karang untuk kepentingan perikanan dan ketersediaan pangan. Prakarsa ini diikuti oleh kelima negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang serta dudukung oleh Australia dan Amerika Serikat. Disamping itu,  industrilisasi ke depan harus benar-benar memberikan jaminan  penggunaan teknologi ”green industry”. 

Industrilisasi yang awalnya  menyediakan janji kesejahteraan, pada saat ini telah menyediakan limbah udara yang berdampak luas terhadap  pemanasan dan perubahan iklim global yang mengancam  kenyamanan dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Industrilisasi, nampaknya telah memasuki tahapan ”tragedy of the common”, dalam hal ini sebagai akibat kenaikan konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol yang  terus meningkatkan limbah udara  akibat laju industrilisasi tanpa kendali. Ini jelas-jelas merupakan ”tragedi industrilisasi”  yang dapat berakibat  mengerikan.
            Oleh karena itu, mengingat pilihan  kebijakan ”green industry” dan tindakan publik pelaku bisnis sangat terkait dengan cara pandang dan perilaku ”anthrophocentrist” yang semakin menghawatirkan, kiranya sangat mendesak agar pemerintah  memandu pendekatan pembangunan industri semakin menekankan etika dan perilaku penguasa negara/korporasi agar menjadi  ”rakhmatan lil alamin”, rahmat untuk sekalian alam.

DAFTAR PUSTAKA
Bellwood DR, Hoey AS and Choat J.H., 2003. Limited functional redundancy in high diversity systems: resilience and ecosystem function on coral reefs. Ecology Letters 6:281–285.
Buddemeier RW, Kleypas JA and Aronson R., 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Prepared for the Pew Center on Global Climate Change.
CCSP (Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research), 2003. Vision for the Program and Highlights of the Scientific Strategic Plan, US Climate Change Science Program,Washington DC
Done TJ, Whetton P, Jones R, Berkelmans R, Lough J, Skirving W and Wooldridge S., 2003. Global Climate Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Final report to the State of Queensland Greenhouse Taskforce. Department of Natural Resources and Mining,Townsville, Australia.

Hardin, Garrett (1969) : The Tragedy of Common, SCIENCE, Jil. 162, No. 3855, hal.1243-1248, terjemahan oleh  Smith dan Marahuddin dalam Ekonomi Perikanan. Gramedia untuk Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 3 - 22, tahun 1986.
Harvell CD, Mitchell CE,Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS and Samuel M.D., 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158–2162.
Hoegh-Guldberg O., 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world's coral reefs. Marine and Freshwater Research 50:839–866
Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nystroem M, Palumbi SR, Pandolfi JM, Rosen B and Roughgarden J., 2003. Climate Change, Human Impacts, and the Resilience of Coral Reefs. Science 301:929–933.
IPCC, 2007a. Climate Change: the physical science basis. Summary for policymakers. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., WMO-UNEP., 21 p.
IPCC, 2007b. Climate change: impacts, adaptation and vulnerability., Summary for policymakers. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., WMO-UNEP., 23 p.
Kleypas JA, Buddemeier RW, Archer D, Gattuso JP, Langdon C and Opdyke BN., 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284:118–120.
Nyström M and Folke C., 2001. Spatial resilience of coral reefs. Ecosystems 4:406–417.
Obura D.O., 2005. Resilience and climate change: lessons from coral reefs and bleaching in the Western Indian Ocean. Estuarine, Coastal and Shelf Science: Science for management in the western Indian Ocean 63:353–372.
Salm, R.V. and S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected Areas. Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching Impact Through MPA Design, Bishop Museum, Honolulu, Hawaii, 29-31 May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp.