Selasa, 17 April 2012

MASUKAN UNTUK PERUMUSAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PELAKSANAAN UU PENGELOLAAN ZAKAT 2011

MASUKAN UNTUK PERUMUSAN
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN MENTERI AGAMA

TENTANG
PELAKSANAAN UU PENGELOLAAN ZAKAT 2011

OLEH :
TIM LEMBAGA AMIL ZAKAT (LAZ)
BAITUL UMMAH
MALANG


I. MASUKAN UNTUK
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UU ZAKAT

1. Prinsip Operasional : ZIS  Adalah Hak MUSTAHIK
            Masukan ini mengacu pada prinsip operasional syari’at, bahwa  pengelolaan ZIS adalah merupakan  kewajiban Amil dalam mengelola “HAK MUSTAHIK” mengacu Al Qur’an , At Taubah 60, yang meliputi delapan asnaf, yang selanjutnya kita rumuskan sebagai Delapan Misi BAZNAS/LAZ, yaitu :
(1)  Penguatan organisasi BAZNAS/LAZ (Amil).
(2)  Pemenuhan kebutuhan pokok Mustahik Fakir (Fakir).
(3)  Pemberdayaan ekonomi produktif Mustahik Miskin (Miskin).
(4)  Penguatan iman Qur’ani Muallaf (Muallaf).
(5)  Pemberdayaan  Mustahik tereksploitasi (Budak).
(6)  Penguatan ekonomi-bisnis  Mustahik Failit (Dililit Hutang)
(7)  Penguatan Ilmu Agama  Mustahik (Fiesabilillah), dan
(8)  Pemberdayaan Sosial-Budaya Anak Jalanan (Ibnussabil).
Dengan demikian,  implimentasi pengelolaan zakat mengacu UU Zakat 2011, pasal 3, makna dari ayat (b), yaitu
(1)  Prinsip Pertama : “Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pennggulangan kemiskinan” secara lebih rinci adalah mencakup “kesejahteraan delapan asnaf Mustahik” tersebut.
(2)  Prinsip Kedua : Hak Mustahik secara umum mengandung makna “Hak Publik” dan “Tujuan Kesejahteraan” mengandung makna komplementer terhadap “fungsi pajak” sebagai “Hak Negara”.
Kedua prinsip operasional tersebut membawa konsekuensi pengelolaan ZIS mengandung kekhususan, yaitu kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Inilah makna pengorganisasian  Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), pasal  5-14, khususnya Pasal 8 ayat (2) yang menegaskan : “Keanggotaan BAZNAS terdiri dari 8 orang unsur masyarakat dan 3 orang unsure pemerintah”.
            Dengan pendekatan “Model Kolaborasi Antara Masyarakat dan pemerintah tersebut” yang patut kita cermati adalah “Pengaturan Wewenang” antara BAZNAS dan Pemerintah. Pada UU Pasal 6 dan Pasal 7, secara jelas menegaskan wewenang BAZNAS, YAITU :
(1)  Melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. (Pasal 6)
(2)  Menyelenggarakan fungsi pengelolaan (a –d) (Pasal 7, ayat 1).

2.  Posisi BAZNAS Dalam Sistem Politik Nasional
            UU Pengelolaan Zakat 2011 telah menempatkan BAZNAS sebagai “Lembaga Pemerintah” dengan status (Pasal 5 ayat 3) :
(1)  Nonstruktural.
(2)  Bersifat mandiri.
(3)  Bertanggungjawab kepada Presaiden melalui Menteri.
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) dan (3) mencirikan  tanggungawab BAZNAS sangat unik mengingat ketentuan :
(4)  Dapat bekerjasanma dengan pihak terkait.
(5)  Melaporkan pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui menterti dan kepada DPR-RI.
Status dan posisi BAZNAS tersebut perlu diaprisiasi oleh semua pihak seluruh masyarakat, termasuk Bapak Menteri dan Bapak-Bapak Anggota DPR-RI, bahwa :
(1)  Posisi BAZNAS sangat unik, memiliki dua sandaran, yaitu Keputusan Presidsen dan Pertimbangan DPR.
(2)  Mandiri.
Dalam system politik nasional, jelas kekhususan status tersebut perlu diapresiasi oleh semua pihak kelembagaan Negara. Yang jelas, posisi BAZNAS dapat dimaknai sebagai berikut :
(1)  Memiliki kekuatan politik khusus.
(2)  Posisi tidak lebih rendah dari Menteri.
Apresiasi terhadap posisi BAZNAS menjadi sangat penting, terkait dengan perumusan Peraturan Pemerintah  untuk melaksanakan Pasal 14, yang berbunyi :
(1)  Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dfibantu oleh Sekretariat.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja Sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Posisi Sekretriat BAZNAS
Selanjutany mari kita simak draft PP berkenaan dengan Sekretariat BAZNAS, yang berbunyi sebagai berikut (ikuti draft PP BAB III : ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT BAZNAS. Bagian Kesatu : Organisasi Sekreatariat BAZNAS, Pasal 8) :
(1)  BAZNAS dibantu Sekretariat dalam melaksanakan tugasnya.
(2)  Sekretariat BAZNAS adalah unsure pendukung pelaksanaan tugas BAZNAS yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama melalui Sekretaris Jenderal.
(3)  Ayat 3 dan selanjutnya konsekuensi ayat 2.

3.1 Dasar Pertimbangan
(1) Status BAZNAS yang bersifat khusus, memiliki sandaraan keputusan Presiden dan Pertimbangan DPR (UU, Pasal 10, ayat 2).
(2) Ketentuan Anggaran BAZNAS, pada BAB IV, tentang PEMBIAYAAN, Pasal 30 ditentukan : “BAZNAS dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja Negara dan Hak Amil”.
(3) Ketentuan  pembiayaan BAZNAS perlu didalami berdasarkan data lapang agar bekerja efisien, yaitu :.
(a) Pengalaman LAZ, anggaran operasional LAZ dibatasi maksimum 30% dari hasil pengumpulan ZIS, dengan batasan : (i) Sumber Zakat 12,5%; (ii) Sumber infak dan shadakah sejumlah kekurangan sumber biaya dari zakat yang dihitung secara layak. (iii) dalam ketentuan UU disepakati sumber biaya dari APBN. (iv) Jika kita mengikuti prinsip efisiensi kerja BAZNAS, maka sumber biaya dari Negara, ada baiknya jika dibatasi sebesar  30% - 12,5% atau sekitar  17,5 % dari jumlah peneriman ZIS oleh BAZNAS.
(b) Artinya, struktur pembiayaan dari APBN dibandingkan dengan  jumlah penerimaan ZIS dari masyarakat secara angka bisa diperkirakan  sebesar : 17,5 % dari sumber APBN disbanding (100% - 12,5% =  87,5%) dari sumber masyarakat sebagai Hak MUSTAHIK.
© Angka perbandinmgan tersebut member indikasi  bahwa  hubungan kolaborasi antara pemerintah dan BAZNAS digolongkan  sebagai : “Kolaborasi Advokatif” dimana kemandirian BAZNAS menjadi kata kunci. Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Agama seyogianya menempatkan diri secara legowo, berperan sebagai fasilitator.

3.2 Masukan
            Dengan dasar pertimbangan tersebut, kami memberikan masukan sebagai berikut :
(1)  Seyogianya Sekretariat BAZNAS berada dibawah dan bertanggungjawab kepada BAZNAS.
(2)  Menteri Agama  seyogianya legowo berperan sebagai fasilitator operasional pengelolaan ZIS.
(3)  Seyogianya peran Kementrian Agama  adalah membawahi Badan Pengawas BAZNAS yang dapat dituangkan  dalam draft PP, masuk dalam BAB III, Bagian Ketiga dan Keempat yang berisi pasal-pasal dan ayat tentang :
(a)   Bagian Ketiga : Badan Pengawas BAZNAS.
(b)  Bagian Keempat : Tata Kerja Pengawas BAZNAS
(4)  Fungsi Pengawasan BAZNAS tersebut sangat teramat penting agar BAZNAS bekerja mengikuti alur syari’at. Ada tiga objek pengawasan, yaitu : (a) Aspek syari’at, (b) Aspek pelaksanaan UU-PP-PMA, dan (c) Aspek akuntabilitas  BAZNAS termasuk seluruh jaringan nasional  dari tingkat Pusat sampai ke Desa-Desa.
(5)  BAZNAS/ LAZ dan seluruh jaringannya harus dibimbing dan diperkuat tentang  administrasi professional mempersiapkan umat  menjadi sejahtera, professional dan maju dalam delapan asnaf, yaitu :  iman-takwa, ilmu agama, pengorganisasian Amil, ekonomi, social-budaya dan mandiri dalam segala bidang kehidupan modern.

4. Misi BAZNAS/LAZ Untuk  Memakmurkan Masjid
            Sejak zaman penjajahan sampai saat ini, peranan Masjid dalam pengumpulan dan penyaluran zakat (ZIS) telah mendarah daging dilaksanakan oleh Para Kiyai. Sungguh sangat urgen, bahwa  pelaksanaan UU Zakat melalui Masjid merupakan kearifan  yang telah  membuadaya.

4.1 Dasar Pertimbangan
Hasil penelitian  menunjukkan beberapa catatan penting peran Masjid dalam pengelolaan zakat sebagai berikut :
(1)  Kita tentu pernah membaca referernsi, bahwa riwayat perjalanan Bank Rakyat Indonesia memiliki keterkaitan  yang sangat historis, bahwa “modal awal” Bank Rakyat Indonesia adalah dari dana ZIS. Informasi ini patut kita bersyukur, karena Bank Rakyat Indonesia telah berbuat sangat banyak untuk kesejahteraan rakyat kita. Ini merupakan bentuk amal shaleh yang nyata  dari seorang Residen di Jawa Barat yang telah menginovasai  fungsi ZIS sebagai Bank Masyarakat Miskin.
(2)  Dengan  disyahkannya UU Zakat 2011 tentu kita berharap agar  riwayat tersebut dapat kita ulangi lagi dengan berbagai bentuk inovasi pengelolaan ZIS mengacu kehidupan modern, sebagai Lembaga Keuangan Non-Bank untuk Masyarakat Miskin. Jelas ini membutuhkan langkah professional.
(3)  Kita tentu sama memahami, betapa seyogianya peran Masjid abad modern ini, khususunya dalam  derap langkah pengumpulan dan penyaluran ZIS yang telah memiliki akar budaya yang kuat. Kita pun sama memahami, bahwa masih banyak kelemahan yang dihadapi oleh dan dalam pengelolaan Masajid. Untuk menata secara bertahap, tentu dapat dilakukan standardisasi kapasitas pengelolaan Masjid nasional yang jumlahnya mungkin mencapai satu juta Masjid. Jumlah jangan dijadikan halangan untuk memajukan umat, mengingat Masjid harus kita akui adalah bentuk “kelembagaan social keagamaan” yang paling dekat dengan MUSTAHIK maupun MUZAKI.
(4)  Selanjutnya, marilah sama-sama mengacu pada petunjuk Al Qur’an, pada At Taubah 18 berikut :
18. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjidAllah ialah :
(a) Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
(b) serta tetap mendirikan zakat,
© menunaikan zakat, dan
(c)   Tidak takut selain kepada Allah.
(d)  Maka merekalah orang-orang yang termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk
(5)  Dengan dasar pertimbangan tersebut, tentu kita memiliki pandangan yang sama, betapa urgennya menetapkan Misi BAZNAS/LAZ  melakukan upaya bersama tentang :”Memakmurkan Masjid”. Misi ini sangat jelas.

4.2 Masukan
Dengan demikian, kami memberikan masukan pada Rancangan PP sebagai berikut :
(1)  Pada BAB I, KETENTUAN UMUM, Pasal (1), ayat 3,  seyogianya setelah  kata “BAZNAS Kabupaten /Kota” diselipkan kata di Masjid, instansi pemerintah dan selanjutnya. …………………
(2)  Pada BAB VI, LINGKUP KEWENAGNAN PENGUMPUL ZAKAT (UPZ), Pasal 37, ayat (2) ada masukan, setelah kata “dapat membentuk UPZ pada”  Masjid-Masjid, instansi pemerintah dsl ………………….
(3)  Seyogianya ada pasal khusus tentang “Memakmurkan Masjid”  yang isinya  mengnadung pasal-pasal  dan ayat tentang  :”Masjid-Masjid yang memenuhi syarat  ditetapkan sebagai Unit Pengumpul dan Penyalur ZIS dari MUZAKI untuk MUSTAHIK dilingkungannya masing-masing”.


II. MASUKAN UNTUK
PERATURAN MENTERI AGAMA
PELAKSANAAN UU ZAKAT

1.Beberapa Pengertian Penting
            Dalam hal pengumpulan dan penyaluran ZIS cukup banyak konsep penting  yang memerlukan pengertian yang sama untuk kita bersama, seperti pengertian tentang : 
(a)   Zakat, infak dan shadaqah.
(b)  Delapan asnaf.
(c)   Pengelompokan zakat dan pengertian tentang : (i) Pemilikan harta,, (ii) Perusahaan dan (iii) Penghasilan. Perlu batasan tentang milik pribadi dan milik perusahaan.
(d)  Cara  penghitungan Zakat Pemilikan Harta, Perusahaan  dan Penghasilan.
(e)   Mungkin ada lagi konsep penting, seperti kebutuhan pokok itu apa ?, usaha  produktif  itu apa dan lainnya ?.

Masukan kami : sebelum menguraikan tentang Bagian Kesatu : Syarat Zakat Mal dan Zakat Fitrah, seyogianya dibuka dengan Bagian Kesatu : Beberapa Pengertian  Tentang ZIS.

2.Tentang Tata Cara Penghitungan
            Komoditi objek zakat memerlukan petunjuk yang jelas tentang :
(a)   Penghitungan kena zakat untuk  harta milik individu/rumahtangga (Maal dan Fitrah).
(b)  Penghitungan kena zakat untuk harta milik perusahaan.
(c)   Penghitungan zakat penghasilan.

3. Definisi Perusahaan dan Lainnya
(a) Seyogianya Tim Penyusun PMA  mengundang ahli ekonomi dan bisnis, disamping Ahli Fikih Zakat.
(b) Definisi Perusahaan pada Pasal 3 sedikit menggangu, yaitu  kata :”dengan transaksi  dua orang pemilik modal”. Kenapa harus dua orang, sementara pemilikan “perusahaan” bisa dimiliki oleh “satu orang”. Masukan, kata “dua” diganti kata “satu”.
© Pembahasam bisa berkembang, bagaimana jika pertanian, perkebunan ataupun  objek lainnya merupakan “perusahaan”. Tim Penyusun tentu harus lebih cermat, jangan sampai salah tafsir di tingkat operasional lapang.
(d) Masukan, apa tidak seyogianya  dibuka pasal pentingnya : (a) Pendidikan Keahlian Pengelola ZIS dan  (b) Standarisasi Pengelola ZIS
(d). Masukan kami lainnya, jika kesulitan  untuk menemukan rumusan yang bisa disepakati, ada baiknya tersedia klosul ayat tentang “Keputusan Menteri” atau “Peraturan Daerah (PERDA)”, termasuk Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,  sebelum Pasal ditutup.

Terima kasih. Lebih kurangnya mohon maaf.
Wabillahittaufiq wal hidayah. Amien 3 x.




Kamis, 02 Februari 2012

PENGELOLAAN ZIS SECARA PROFESSIONAL

MEMBANGUN EKONOMI UMAT MELALUI PENGELOLAAN ZIS SECARA PROFESSIONAL

Hasil Uji Coba  Tahun 1990 - 2010
Pengalaman, Keberhasilan, Permasalahan  dan Langkah Kedepan

(Bagian Kedua Dari Empat Tulisan)

Oleh :
Prof. Dr. Ir. H. Sahri Muhammad, MS
Universitas Brawijaya

Disampaikan pada acara Pelatihan dan pembinaan Muzakki,  22-23 Mei 2008 pada  Laboratorium Hukum Fakultas Syariah, Univ. Islam Negeri (UIN)  Malang


1. Uji Coba Gelombang Kedua : LAGZIS Kota Malang  Tahun 1995 – 2005

            Berdasarkan pengalaman tersebut , mulai tahun 1995 muncul ide pengembangan  ZIS pada skala yang lebih luas dengan membentuk LAGZIS Kota Malang. Pengembangan managemen amanah berbasis pada  pengertian bahwa  “pengumpulan ZIS” pada dasarnya merupakan  “program pelayanan”  yang dapat didekati dengan  pendekatan “marketing”.

1.1 Pendekatan Marketing-Mix : 4 P
            Secara sederhana pembangunan ekonomi masyarakat, termasuk penguatan keimanan dapat didekati dengan dua cara, yaitu :
(a) Regulasi yang diatur oleh pemerintah.
(b) Mekanisme pasar
(c) Kombinasi antara  mekanisme regulasi dan mekanisme pasar.
            Dalam mekanisme pasar efisiensi kerja LAZIS menjadi strategi dasar untuk memperkuat pelayanan pengumpulan dan penyaluran ZIS.  Persaingan di pasar  akan dimenangkan oleh lembaga yang mampu mengkombinasikan empat kekuatan  penentu daya saing, yaitu  :
            a. Produk (Product)
            b. Harga (Price)
            c. Tempat (Place)
            d. Promosi (Promotion) : Publikasi
            Berdasarkan  pertimbangan tersebut, maka agar lembaga ZIS  unggul  perlu menetapkan  produk, pelayanan (harga), cara pengumpulan dan promosi yang  efisien. Pada saat ini produk yang dapat dipilih misalnya program biasiswa, santunan sosial anak yatim / miskin, program dakwah, perluasan lapangan kerja Mustahik dan banyak lagi yang dapat dipilih.
            Setelah pilihan program produk LAZIS oleh masing-masing LAGZIS telah diketemukan, kemudian  kita pasarkan dengan  “harga/ pelayanan efisien” untuk melayani misalnya : nilai SPP kelompok sasaran. Angka harga  program per satuan kemudian dipasarkan dan ditawarkan  kepada  para Muzakki dalam bentuk :

(a) Penawaran door to door, dari rumah ke rumah.
(b) Penawaran melalui kelompok pada suatu instansi tertentu, pemerintah dan swasta yang dilakukan dengan berbagai cara seperti brosur, presentasi dan bentuk lain.
            Kesediaan secara sukarela dari para Muzakki untuk ikut serta dalam invest akhirat tersebut menjadi sasaran sosialisasi kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terjadual. Para Muzakki yang secara sukarela telah menyediakan diri untuk berpartisipasi dilanjutkan dengan langkah penguatan komunikasi / silaturahmi antara Lembaga ZIS dan Muzakki melalui berbagai bentuk pelayanan berbasis pencerahan  sejalan dengan “kebutuhan Muzakki”.
            Misalnya, jika Muzakki memerlukan  pendalaman agama untuk keluaraganya, maka LAZIS perlu meningkatkan pelayanannya pembelajaran agama untuk para Muzakki tersebut. LAZIS harus berusaha melakukan banyak hal agar Muzakki puas dan ridla untuk berpartisipasi  berupa dukungan dana ZIS untuk penguatan kegiatan LAZIS agar semakin luas. Kita ciptakan agar Muzakki berperan sebagai “jaringan” LAZIS. LAZIS tidak hanya berkeperluan untuk dukungan ZIS dari para Muzakki, tapi LAZIS harus juga mencari cara untuk meningkatkan berbagai bentuk pelayanan memenuhi “kebutuhan agama” bagi Muzakki. Begitu seterusnya, yang pada intinya Muzakki didorong tidak saja  aktif bersedia mendukung dana ZIS sebagai kewajiban ibadah, tapi juga memperoleh pelayanan dari LAZIS sesuai kebutuhan MUZAKKI. Ada hubungan timbal-balik antara LAZIS dan Muzakki sehingga berkembangan semangat “saling membutuhkan”.
.           Dengan semakin bervariasi peran LAZIS, tidak hanya mengumpulkan dana ZIS tapi sekaligus meningkatkan  pengetahuan agama para Muzakki, maka para Amil  pasti bekerja penuh. Dan oleh karenanya adalah wajar jika memperoleh insentif yang pantas dan layak.
            Disamping produk, nilai produk dan pelayanan Muzakki, tidak kalah pentingnya agar LAZIS menerbitkan “leaflet” yang diterbitkan bulanan berisi berita tentang hasil pengumpulan dan penyaluran tiap bulan/ triwulan. Sejalan dengan semakin membesarnya skala pelayanan LAZIS, maka LAZIS bisa menerbitkan buletin bulanan/ triwulan secara reguler sebagai sarana promosi/ dakwah bagi Muzakki/ Mustahik/ Publik, atau promosi bentuk lainnya.

1.2 Insentif  dan Memacu Semangat Kerja Amil Zakat
            Pemberian insentif bagai Amil merupakanan konsekuensi  tugas amil yang telah bekerja keras untuk kemaslahatan umat. Yang menjadi persoalan berapa besarnya insentif tersebut. Ketika kita dihadapkan dengan persoalan insentif ini, tidak beda persoalannya ketika kita menanyakan mana yang lebih dahulu  “ telor atau ayam”. Artinya, mana yang kita tetapkan lebih dahulu antara : “ insentif bagi Amil atau pengelolaan  ZIS yang professional”.
            Dalam praktek di lapangan, kita harus memutuskan :
(a) Tetapkan insentif bagi  Amil yang telah memilih bekerja di LAZIS.
(b) Kemudian tetapkan target hasil pengumpulan  dan penyaluran dana ZIS.
            Penetapan target dan pemberian insentif  tertentu bagi Amil akan menentukan apakah seorang Amil itu professional atau tidak. Pada tingkat awal, ada baiknya jika penetapan insentif dan pencapaian target pengumpulan ZIS dilakukan evaluasi tiap bulan. Dari hasil evaluasi bulanan kita akan memperoleh masukan dan pilihan langkah selanjutnya. Jangan ragu, misalnya pada tingkat awal tetapkan insentif bagi Manager LAZIS misalnya Rp. 500.000,- per bulan. Minimal setingkat UMR (Upah Minimum Regional). Selanjutnya Manager ini ditugasi untuk menyususn  Rencana  Anggaran dan Hasil Pengumpulan ZIS per tahun.
            Pada tingkat awal yang menjadi pertanyaan adalah prosentase yang harus disediakan bagi Amil/ Pekerja LAZIS tersebut. Berdasarkan pengalaman yang ada porsi Amil (karyawan) untuk  sumberdana Infak/ Shadaqah berkisar abtara 25% - 30% dari total penerimaan. Dalam praktek bisa terjadi defisit atau surplus atas hak Amil. Ini tidak soal. Dengan dana infak yang pengelolaannya bersifat fleksibel, maka penyesuaian porsentase  bagian Amil LAZIS yang digunakan untuk insentif bulanan dapat dikelola secatra fleksibel, direvisi, bisa naik, bisa turun. Yang pasti, para Tenaga Tetap harus diberi insentif tetap per bulan..
            Setiap membuat rencana kerja tahunan harus dilengkapi jumlah penerimaan ZIS dan daftar Muzakki, nama dan alamatnya, termasuk biaya langsung dan tidak langsung. Biasakan bekerja dengan rencana kerja yang jelas. Program Kerja LAZIS Persiapan biasanya membutuhakan minimal pengalaman waktu tiga tahun. Setelah LAZIS bekerja selama tiga tahun, maka kita akan memperoleh gambaran yang riil tentang potensi Muzakki di lakasi kerja Amil LAZIS tersebut. Tiga tahun kedua  LAZIS akan memasuki tahapan konsolidasi untuk bersiap memasuki tahap ekspansi pada tiga tahun ketiga. Begitu selanjutnya.

1.3 Penguatan Mutu SDM Amil Zakat
            Sejalan dengan volume pekerjaan Amil, jangan lupa untuk tidak henti-hentinya  adanya upaya peningkatan mutu SDM Amil LAZIS. Peningkatan mutu Amil dapat dilakukan dengan   metode “kerja sambil belajar”, ikut serta dalam pelatihan  ilmu pemasaran yang lazim, ikuti seminar, technical asisstance oleh para Ahli dan bentuk pembelajaran yang lain.
            Untuk memperoleh perhatian serius oleh Pengurus, bahwa landasan penetapan personil harus mengacu pada “keahlian” sesuai   hadist Nabi, jika :”suatu pekerjaan diserahkan pada bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya”. Kita jangan mengambil resiko mencoba menetapkan  personil Amil LAZIS tidak didasarkan pada keahlian.
            Ada tiga keahlian pokok dalam mengelola LAZIS secara professional, yaitu :
(a) Bagian keuangan/ pembukuan : ahli akuntansi.
(b) Bagian pengumpulan ZIS : ahli pemasaran.
(c) Bagian pemberdayaan : ahli pengembangan masyarakat (comunity development)
            Jika mungkin pemilihan ketiga personil ini dibuat transparan. Jangan sambil lalu, yang penting jalan. Jika sikap kita denmikian, bisa terjadi tidak jalan sama sekali.

1.4 Pencapaian Hasil Uji Coba
            Sejalan dengan perkembangan dan kapsisitas organisasi , LAZIS Kota Malang setiap tahun melaporkan kinerjanya. Setelah berjalan selamam 10 tahun, pada akhir tahun 2006 diperoleh capaian sebagai berikut :
a. LAZIS dengan skala  Lokal telah memasuki skala  Antar Regional dan/ atau bahkan Nasional
b. Hasil Pengumpulan Dana melebihi Rp. 1,00 milyad\ per tahun.
c.  Amil  dan karyawan ZIS Sebagai  Pilihan Pekerjaan, memperoleh insentif secara layak, karena mencurahkan waktunya untuk melayani Mustahik dan Muzaki.
d. Pengelolaan ZIS Sinergis mengandung implikasi : (a) LAGZIS disamping melayani kebutuhan  Mustahik, juga melayani kebutuhan Muzaki; (b) Muzaki berperan sebagai komponen jaringan LAGZIS, (c) Pengembangan media dakwah untuk perluasan jaringan dan jangkauan pelayanan Mustahik- Muzaki ; (d) Perluasan jangkauan pelayanan dari  skala Lokal menjadi Regional; dan (e) Memperkuat  ethos professionalisme Amil/ Karyawan.
           
Pada tahap ini LAZIS telah memasuki tingkat operasional pengelolaan ZIS  dimana para karyawan LAZIS telah  memilih bekerja di LAZIS sebagai profesi mereka. Pencapaian demikian perlu dilipatgandakan, sehingga menjadi Amil LAZIS bukan lagi pekerjaan sukarela tapi telah menjadi profesi yang akan memberikan dukungan perluasan lapangan kerja bagi masyarakat luas

2. Permasalahan Untuk Penguatan ZIS Professional  Selanjutnya
            Organisasi LAZIS yang eksis disamping dibangun  berdasarkan teori ilmu organisasi yang lazim, tapi juga  mengacu pada  pengalaman praktis di lapang. Ada permasalahan pokok yang sering menjadi bahan diskusi bersifat konsep maupun praktis dalam penguatan LAZIS rofessional, yaitu antara laian :

(a) Hak Masing-Masing Asnaf : Berapa Persen ?
            Banyak pendapat Ulama berkenaan dengan pertanyaan tersebut. Dalam praktek ternyata ada bagian/ asnaf yang substansinya tidak ada, misalnya “budak”. Dapatkah dana  “budak” digunakan untuk penguatan dakwah. Dan banyak lagi yang lain. Atau menjadikan delapan asnaf sebagai  kelompok sasaran yang lebih difokuskan pada bidang-bidang program  mendesak misalnya :
(1)  Program comunity development untuk pengentasan kemiskinan (fakir-miskin);
(2)  Program penataan organisasi Amil ZIS dengan paradigma penguatan kesejahteraan Mustahik  dan “human centered”;
(3)  Program  pembinaan Muallaf melalui pendekatan kelembagaan Pusat Penguatan Muallaf’ Al Qur’an.
(4)  Program pengentasan perbudakan melalui penguatan  usaha UKM/UMKM;
(5)  Program penguatan goriem melalui  kelembagaan Bank Zakat
(6)  Program pembangunan  fisabilillah melalui paradigma dakwah pembangunan berbasis “human centered development”.
(7)  Program penguatan ekonomi dan kesejahteraan anak jalanan. (ANJAL).


(b)  Prosedur Tetap (PROTAP) Antara Pengurus dan Pengelola/ Direktur
            Semakin besar skala kegiatan LAZIS semakin memerlukan “pola pengelolaan LAZIS: yang  semakin canggih. Ada perbedaan pokok antara fungsi Pengurus LAZIS yang bertugas normatif untuk menyusun kebijakan dan para Manager/ karyawan  yang berfungsi di level operasional. Prosedur tetap karyawan, siapa melakukan apa perlu dibuat dan dievaluasi secara teratur dari waktu ke waktu secara dinamik. Jangan statis.

(c) LAZIS/ BAZ Berbasis Lokal Berwawasan Regional  : Beroperasi di Setiap Kota/ Kabupaten
            Makin hari, masyarakat semakin anthusias untuk membangun LAZIS yang semakin professional. Hal ini akan berdampak pada “persaingan” yang terkadang perlu ditata agar semakin produktif dan efektif.
            Mungkin ada baiknya, jika DEPAG membuat klasifikasi standard mutu LAZIS, misalnya  terdaftar, diakui dan terakriditasi. Ini  perlu dipersiapkan, sehingga semangat masyarakat untuk membangun LAZIS yang semakin professional menjadi semakin terarah dalam peningkatan pelayanannya terhadap masyarakat.
            Dalam kerangka otonnomi daerah, dimana peran LAZIS akan semakin penting dalam ikut serta memberikan sumbangsnnya bagi pembangunan masyarakat miskin, maka ada baiknya jika DEPAG tiap Kabupaten/ Kota  mengantisipasi semangat tersebut untuk diarahkan lebih lanjut sejalan dengan arahan UU Zakat yang telah disepakati oleh Wakil Rakyat.

(d) Sinergi Kegiatan Antar LAZ/ BAZ  dan Program Pembangunan Regional/ Nasional
            Semakin hari telah semakin terasa perlunya sinergi antara BAZ/ LAZ untuk semakin berorientasi pada tujuan dan penyelesaian permasalahan ekonomi umat. Akumulasi hasil pengumpulan dana ZIS makin hari  akan semakin meningkat, juga persaingan antara LAZ dan BAZ. Oleh karena itu forum-forum sinergi harus dipersiapkan dan dilakukan sebagai strategi  peranserta LAZIS unutk  melaksanakan tugas menanggulangi kemiskinan..


3. Penutup
            Kata Amil yang tertera secara eksplisit dalam Al Qur’an,  At Taubah 60 mengisyaratkan dan harus dipahami bahwa pengelola  ZIS harus professional, artinya bukan pekerjaan sambil lalu Dari hasil coba ini dapat diidentifikasi persyaratan Amil Professional  adalah  ia harus bekerja  penuh waktu (nongkrongi)  untuk LAGZIS dalam mengurus delapan asnaf. Kemiskinan  secara bertahap akan dapat diatasi, jika  didampingi dalam penuh waktu (professional)
            Untuk meraih tataran kerja tersebut, bahwa  Amil sebagai karyawan tentu memerlukan persaratan yang  lazim, diantaranya :
(1) Amil  dan karyawan ZIS sebagai  pilihan pekerjaan, memperoleh insentif secara layak, karena mencurahkan waktunya untuk melayani Mustahik dan Muzaki.
(2) Pengelolaan ZIS Sinergis mengandung implikasi :
            (a) LAGZIS disamping melayani kebutuhan  Mustahik, juga melayani kebutuhan Muzaki;
            (b) Muzaki berperan sebagai komponen jaringan LAGZIS,
            (c) Pengembangan media dakwah untuk perluasan jaringan dan jangkauan pelayanan Mustahik- Muzaki ;
            (d) Perluasan jangkauan pelayanan dari  skala Lokal menjadi Regional; dan
            (e) Memperkuat  ethos professionalisme Amil/ Karyawan tanpa henti.
(3) Skala  kegiatan layak usaha.


Jumat, 27 Januari 2012

HASIL UJI COBA MANAGEMEN AMANAH ZIS

MEMBANGUN EKONOMI UMAT MELALUI DANA  ZIS  : MODEL MANAGEMEN AMANAH
Hasil Uji Coba 1990-2010 
Pengalaman, Keberhasilan, Permasalahan  dan Langkah Kedepan
(Bagian Pertama dari Empat Tulisan Hasil Uji Coba)

Oleh :
Prof. Dr. Ir. H. Sahri Muhammad, MS
Universitas Brawijaya

Disampaikan pada acara Pelatihan dan pembinaan Muzakki,  22-23 Mei 2008 pada  Laboratorium Hukum Fakultas Syariah, Univ. Islam Negeri (UIN)  Malang


            Sepuluh tahun sebelum UU Zakat disyahkan,  pada tahun 1989 beberapa sejawat di Universitas Brawijaya,  peminat  studi Islam dalam disiplin ilmu berkeinginan mempraktekkan pengelolaan ZIS (Zakat, Infak dan Shadaqah) secara professional. Pendekatan professional menjadi kata kunci, karena pertimbangan yang ada di lapang, yaitu tingkat kesadaran umat  dalam menunaikan zakat masih  dalam pertanyaan, sementara pemerintah dalam  upaya  memfasilitasi pengelolaan BAZ, kecuali di DKI, praktis tidak berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Kesadaran adanya ketentuan fikih  “Wajib Zakat” masih berada pada tataran  “learning by doing”.
            Untuk menjadikan dana ZIS sebagai  upaya untuk membangun ekonomi umat masih memerlukan  serangkaian penyadaran dan  tindakan nyata di lapang.

1. Amil ZIS Harus  Professional

            Saudaraku, setiap kita mendengar pengelolaan zakat, selalu saja terdengar, sekurang-kurangnya tergambar dalam benak kita bentuk pengelolaan zakat yang tradisional, dikerjakan pada sisa waktu. SDM dengan paruh waktu, pengelolanya tidak boleh digaji. Terbayang sebuah organiasi amil yang lusuh, seenaknya, dan nyaris tanpa ada  rencana kerja. Sementara kita baca dalam Al Qur’an, secara khusus Allah menetapkan hak amil sesudah fakir miskin. Untuk mengelola LAZIS secara professional tentu memerlukan penataan organisasi yang professional.
            Saudaraku, sudah saatnya kita harus merubah paradigma dan cara berfikir tradisional tersebut. Kita bisa bayangkan Amil Zakat harus mengurusi :
(1) Yang fakir dan miskin menjadi kaya dan taqwa.
(2) Yang muallaf,  iman dan takwanya semakin kuat.
(3) Yang budak menjadi merdeka.
(4) Yang berhutang lunas hutangnya
(5) Jalan Allah (fisabilillah) berupa pembangunan masyarakat tumbuh berkembang adil dan makmur.
(6) Ibnussabil, penuntut ilmu dan anak jalanan tidak kesulitan dana dan memasuki kehidupan berperadaban..

1.1. Persyaratan SDM Amil Professional

            Saudaraku, untuk menyelesaikan enam soal ini, pasti bukan pekerjaan ringan. Adalah pastas, jika Amil memperoleh gaji yang layak, agar ia tekun bekerja untuk mencapi tujuan pengelolaan zakat dan infak. Kita harus memastikan pandangan kita, bahwa Amil Zakat adalah sebuah profesi.
Saudaraku, Amil Zakat harus professional. Ini sebuah konsekuensi yang wajar dan otomatis. Untuk menjadi professional, Amil Zakat harus full-timer. Oleh karena itu, harus digaji secara layak, sehingga dia bisa mencurahkan segala potensinya untuk mengelola dana zakat dan infak secara baik. Jangan sampai para Amil Zakat masih harus mencari tambahan pendapatan yang akan berakibat akan menggangu pekerjaannya sebagai Amil Zakat.
            Saudaraku, saya teringat  pernyataan Moctar Riadi, ketika ditanya tentang keberhasilannya dalam mengelola Bank LIPPO. Ilmunya cukup  mudah diingat, yaitu :
(1) Berbuat, malau sedikit. Artinya bukan wacana.
(2) Tongkrongi, artinya professional.
(3) Melakukan sesuatu yang belum dilakukan orang, artinya kreatif.
            Saudaraku, Amil Zakat harus menempuh tiga jalan tersebut, yaitu tekun, istiqamah dan  kreatif. Jika Amil Zakat harus demikian, maka yang pertama dan utama untuk mengelola Zakat dan Infak secara professional, pasti kita memerlukan syarat SDM yang berkualitas. Jiika kita menbaca  penetapan SDM pada zaman NABI SAW.,, maka Amil Zakat adalah manusia pilihan.  Secara umum kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Amil Zakat adalah : muslim, jujur (sidik), amanah, tablig (menjadi contoh) dan fathonah (cerdas, paham fikih zakat), .
            Saudaraku, dengan kriteria umum tersebut, sesuai dengan hasil uji coba LAGZIS Raden Patah ,  persyaratan yang perlu untuk  Pengelola Amil Zakat adalah :

(1). Direktur/ Pimpinan Amil Zakat
            a. Amanah.
            b. Jujur dan memiliki motivasi kejujuran
            c. Kepemimpinan (leadership)
            d. Kemampuan mangerial
            e. Cerdas/ paham fikih zakat dan infak
            f. Memiliki komitmen dengan pemberdayaan Mustahik
            g. Kreatif dan inovatif
            h. Mampu menjalin hubungan dengan pihak intansi ekternal.
i. Mampu bekerjasama dalam Tim Kerja..
(2). Kepala Bagian Pengumpulan Zakat : Ia adalah selevel dengan Bagian Pemasaran Bisnis Professional
            a. Amanah
            b. Jujur
            c. Memiliki kemampuan / pengalaman di bidang pemasaran
            d. Memiliki keterampilan dalam berkomunikasi dengan pihak ekternal
            e. Mampu bekerjasama dalam Tim Kerja.
(3). Kepala Bagian Keuangan dan Akuntansi
            a. Amanah
            b. Jujur
            c. Memiliki kemampuan. Pengalaman di bidang akuntansi
            d. Cermat dan teliti
            e. mampu bekerjasama dalam Tim Kerja.
(4). Kepala Bagian Pendayagunaan : Ia selevel dengan  Bagian Pemberdayaan Masyarakat (Community Development)
            a. Amanah
            b, Jujur
            s. Memiliki keterampilan dalam bidan comunity development
            d. Mampu bekerjasama dalam Tim Kerja.
            Terlebih lagi jika kita mencoba memperhatikan  berbagai jenis zakat yang  yang dapat terkumpul.

1.2 Strategi Operasional
Selanjutnya, pertanyaan pertama yang sering muncul, ketika kita akan memulai pekerjaan   Amil adalah menetapkan apa saja yang perlu dipersiapakan. Ada tiga hal, yaitu menetapkan  :
a. Manager / Direktur yang nongkrongi.
b. Ruang kerja/ Kantor, dan
c. Pengamanan keuangan dengan membuka rekening bank.
            Klasifikasi tenaga kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga lapisan, yaitu :
a. Tenaga tetap : Manager/ Direktur
b. Tenaga Tidak Tetap digajih berdasarkan prestasi.
c. Tenaga sukarela yang bekerja secara voluntir.
            Seteleh segala persiapan telah disusun, maka kita harus memulai pekerjaan pengeumpulan dana ZIS. Dana ZIS secara managemen dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu  :
a. Dana Zakat, dimana jenis, jumlah dan cara penyalurannnya telah ditentukan oleh syariah.
b. Dana infak dan shadaqah, dimana jumlah, jenis dan cara penyalurannya bersifat fleksibel.
c.Para Kiyai dan Ulama cenderung menyarankan untuk mengelola ZIS secara professuonal dimulai saja dengan  kegiatan pengumpulan dan penyaluran infak dan shadaqah. Setelah  kegiatan pengumpulan infak dan shadaqah telah berkembang, maka  selanjutnya  kegiatan pengumpulan  dan penyaluran zakat digerakkan. Ini sejalan dengan hasil kajian  LAGZIS Raden Patah selama lima tahun  1990 – 1995 menunjukkan pergeseran respon masyarakat (Muzakki) sebagai berikut :
            - Tahun pertama : perbadingan dana terkumpul  zakat sebanyak 10%, infak 90%.
           - Tahun Kedua : terjadi pergeseran perbandingan zakat naik 20 – 30%, sedangfkan porse infak 70 – 80%.
           -  Pada tahun ketiga, dana zakat terkumpul sebanyak 30-40%, sedangkan infak dan shadaqah  60-70%.
          -  Pada tahun keempat , dana zakat terkumpul 40- 50%.
          -  Pada tahun kelima, keadaan mulai berbalik, yaitu  porsi zakat yangt terkumpul lebih besar dari porsi infak dan shadaqah, sekitar 60 % dibading 40%.
Dari hasil kajian tersebut dapat disimpulkan bebarapa hal sebagai berikut :
           - Pada dasarnya masyarakat luas berhasrat untuk menunaikan zakat, sepanjang ada LAZ yang dipercaya.
           -  Masyarakat  melihat contoh yang dibuktikan oleh LAZ.
           -  Jika kondisi perimbangan jumlah zakat dan Infak ini telah dicapai, maka ekspansi managemen Amil Zakat yang professional akan menjadi lebih  dimungkinkan untuk tumbuh dan berkembang.     
            Pada tahap awal uji coba LAGZIS tahun 1990 -1995 jumlah dana ZIS terkumpul selama setahun berkisar antara 35 juta  - 40 juta, atau sekitar 3 juta per bulan.

2. Pendekatan Pemberdayaan Mustahik
            Pemberdayaan Mustahik merupakan sasaran utama pada saat uji coba LAGZIS professional dimulai. Mustahik yang berdaya dicirikan oleh :
(a) Sikap mandiri dan berserah diri hanya kepada Allah,
(b) Berpartisipasi ikut menunaikan infak dan shadaqah, dan
(c) Konsumsi sehari-hari didasarkan pada hasil kerjanya sendiri, bukan hasil kerja orang lain.. Untuk mencapai maksud tersebut kita bisa belajar dari  cara kerja para “pemberi kredit informal”.
            Kredit informal (Bank Titil)  untuk usaha kecil biasanya dilakukan sebagai berikut :
a. Jumlah kredit cukup kecil, sesuai kebutuhan usaha dan kemampuan membayar Mustahik. Pada tahun 1990 berkisar atara Rp. 10.000,- - Rp. 20.000,- per orang.
b. Angsuran kredit tiap hari.
c. Pelunasan kredit 30 hari.
d. Sistem kredit informal dilaksanakan dengan cara,  jika kredit Rp. 10.000,- maka angsuran per hari ditetapkan  Rp. 400,- selama 30 hari, sehingga  kewajiban peminjam harus membayar Rp. 12.000,- lunas. Dalam praktek, jika pinjam Rp. 10.000,-. Maka akan menerima Rp. 9.000,-. Dengan perhitungan sederhana buka pinjaman adalam Rp. 12.000,- - Rp. 9.000,- = Rp. 3.000,- per bulan atau sebesar 30% per bulan.
e. Para pengusa kecil menyisihkan angsuran tersebut dari hasil kerja harian mereka. Dari hasil kerja harian, mereka menyisihkan dana untuk : angsuran, bunga pinjaman dan   memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
             Mengacu pada cara bekerja “pemberi kredit informal” maka “Pmberdayaan Mustahik “ dirancang dan uji coba dioperasikan dengan cara sebagai berikut :
a. Dibentuk Kelompok Mustahik beranggotakan 5 orang, agar saling mengenal.
b. Jika per Mustahik disiapkan dana amanah Rp. 250.000.-, (sebesar BLT, Bantuan Langsung Tunai) maka total dana per kelompok = Rp. 1.250.000,-
c. Setiap Musatahik memperolah “Dana Amanah” Rp. 250.000,- diterima penuh.
d. Setiap Mustahik wajib menyisihkan dana dari hasil usahanya Rp. 10.000,- per hari selama  25 - 30 hari/ bulan (penetapan penyisihan dana amanah oleh Mustahik disepakati atas dasar kemampuan usaha produktif Mustahik)
e. Pada hari ke 30 , maka  Musatahik dicatat berprestasi. Selanjutnya prestasi Mustahik dicatat dan pernyataan LAZIS secara tertulis memiliki tabungan Rp,. 50.000,- per bulan. Lama penyisihan dana amanah juga didasarkan pada  kemampuan produktif Mustahik.
f. Hasil pengumpulan dana amanah yang berhasil dikumpulkan kembali dari Anggota Kelompok  Mustahik diamanahkan  untuk  Mustahik lain, yaitu Musatahik No. 6, 7 dan selanjutnya.
g. Atas prestasi Mustahik tersebut, disamping  ada tabungan, Mustahik akan memperoleh amanah lebih besar, misalnya Rp. 500.000,-. Begitu selanjutnya sampai mencapai Rp. 1.000.000,- , (1 ekor kambing) per Mustahik.
h. Ketika  besar amanah ZIS untuk Mustahik telah mencapai ukuran  layak secara usaha, selanjutnya ditawarkan kepada Mustahik untuk berinfak.
i. Pada tingkat awal, infak didorong lewat kalengan, seperti  pengumpulan amal jariah di masjid-masjid,  namun pada tahap lanjut semua infak dibukukan untuk masing-masing Mustahik. Pengelolaan ZIS dengan model demikian selanjutnya  disebut  pengelolaan ZIS dengan “Model Managemen Amanah”.
j. Hasil pengumpulan infak dan shadaqah dari Mustahik tersebut dari hasil kajian LAGZIS tahun 2001 – 2005 diperoleh kesimpulan jumlah total infak terkumpul dari Mustahik  mencapai 6% dari total dana ZIS yang disalurkan. Sampai disini “Model Managemen Amanah” LAGZIS Raden Patah telah selesai diuji dengan kesimpulan bahwa dalam kerangka penguatan dan pemberdayaan ekonomi Mustahik dapat dilakukan pengelolaan ZIS Professional dengan pendekatam  “Managemen Amanah”.
k. Dengan dasar  praktek uji coba tersebut diatas, pengertian Managemen Amanah adalah menerapkan beberapa  prisip kerja operasional pengelolaan ZIS  : (1) Dana ZIS adalah hak Mustahik; (2) LAGZIS hanya berkewajiban memperluas jangkauan  pemanfaatan dana ZIS; (3) Dengan konsep Managemen Amanah, LAGZIS  menganut prinsip “amanah” bukan prinsip “pinjaman qardul hasan” sebuah bentuk  “peminjaman bebas bunga” yang berkonotasi meninggalkan prinsip “ZIS sebagai hak Mustahik”.;  (4) Managemen Amanah merupakan  pilihan managemen  agar  Mustahik berperilaku "Amanah" dan dicapai  sasaran jumlah Mustahik yang memanfaatakan  ZIS dalam jumlah  yang  lebih banyak; dan (5) Kata “Amanah” dimaksudkan untuk membangun  cara pandang Mustahik, disamping ada hak, juga ada unsur kewajiban untuk merubah “tangan dibawah menjadi tangan diatas”, kerja keras, taqwa dan tekun beribadah,  sesuai ajaran dan contoh Nabi SAW.