Senin, 05 Desember 2011

Misi Baznas/Laz Memakmurkan Masjid Dan Sunnatullah Penanggulangan Kemiskinan

MISI BAZNAS/LAZ MEMAKMURKAN MASJID DAN  SUNNATULLAH PENANGGULANGAN KEMISKINAN  

Oleh :
Prof. Dr. H. SAHRI MUHAMMAD
Universitas Brawijaya/ LAZ Baitul Ummah

TUGAS BESAR BANGSA
Setiap kita mempersoalkan  sukses kebijakan ekonomi, para Ekonom dengan percaya diri mengatakan :”kondisi ekonomi membaik, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi (GDP) 5% - 7%. Mudah-mudahan kita tidak terkecoh dengan pernyataan tersebut. Sebagai bandingan, ketika Ekonom lain  menyatakan :”tidak ada pembangunan ekonomi tanpa ada pengurangan kemiskinan, betapapun pertumbuhan ekonomi nasional melebihi 7%.
Artinya, 
tujuan pembangunan ekonomi yang pertama dan utama adalah menanggulangi kemiskinan. Paradigma Zakat secara eksplisit mengekspresikan tujuan utama tersebut. Dan inilah misi besar BAZNAS/LAZ yang harus kita sadari bersama.


              Mulai akhir tahun 2011 kita memiliki UU Pengelolaan Zakat yang baru. Salah satu pertimbangannya adalah pada butir (e) bahwa UU No. 38 tahun 1999 dinilai oleh anggota DPR sudah tidak sesuai perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, dan tidak diangkat sebagai pertimabangan  tidak kurang 12 tahun kita belajar melaksanakan syari’at zakat tidak sedikitpun memperoleh perhatian anggota DPR. Seolah-seolah  kerja  DPR sebelumnya dan para penggiat ZIS selama ini  tidak memiliki  nilai sedikitpun sumbangannya terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. Ini semua tentu marupakan haknya para anggota DPR yang sangat kita hormati itu.
            Muncul banyak tanggapan. Sebagian menghawatirkan kalau-kalau ada agenda menyulitkan umat Islam dalam  menunaikan zakat, sebagian ahli menilai UU Pengelolaan Zakat yang baru bisa kontraproduktif. Bahkan ada LAZ yang berencana untuk melakukan uji materiil. Berbagai tanggapan telah terinventarisasi. Pengurus BAZNAS cukup memberikan jaminan, bahwa aspirasi LAZ akan  diakomodasikan. Agar semua kekhawatiran dan penilaian dapat diinternalisasikan dalam  pengaturan tindak lanjut, baik melalu PP maupun Peraturan Menteri, dan FOZ siap mengawalnya. Kita doakan.

1. Sunnatullah Penanggulangan Kemiskinan
          Penangulangan kemiskinan merupakan kegiatan pada tatatan perilaku ekonomi dan social masyarakat. Agar penanggulangan kemiskinan menjadi  amal shaleh, maka upaya dan  tindakan penanggulangan kemiskinan haruslah memenuhi syarat berikut, yaitu :
(a)   Ikhlas, karena Allah SWT.
(b)  Mengacu pada petunjuk Allah SWT., yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Dari sekian banyak  tuntunan Allah SWT dan As Sunnah adalah berupa  sunnatullah, baik qauliyah maupun kauniyah. Oleh karena itu, agar ibadah menanggulangi kemiskinan yang berhasil , sekaligus  merupakan amal shaleh, maka kita perlu mengacu pada sunnatullah, berdasarkan deskripsi sebab-akibat  dan kaidah-kaidah berkenaan dengan  sunnatullah perilaku social-ekonomi yang dituntunkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Hanya saja, haruslah kita sadari bahwa deskripsi sunnatullah penanggulangan kemiskinan yang ada dalam Kitab Agama saat ini masih bersifat mujmal (global).
(c)   Sabar, karena dalam praktek kegiatan sehari-hari kita, untuk meraih perolehan imbalan dari Allah SWT. dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan selalu dibatasi olek waktu, sebagaimana diingatkan oleh Allah SWT pada ayat berikut ini.

1.     Demi waktu.
2.     2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada  dalam kerugian.
3.     Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran (sunnatullah) dan nasehat menasehati dalam kesabaran
(Al Qur’an, Al ‘Ashr, 103 : 1-3)

            Haruslah kita sadari bahwa  banyak kejadian hidup atas dasar keyakinan terhadap sunnatullah untuk memperoleh hasil  dibatasi oleh waktu, terkadang harian, bulanan, tahunan bahkan puluhan tahun pembuktiannya. Sebagai contoh sukses Nabi SAW. membutuhkan waktu sekitar 23 tahun. Untuk memahami  “time response tersebut, kita masing-masing bisa belajar dari pengalaman hidup kita atau orang lain disekitar kita yang sempat meraih sukses duniawi dengan teguh menjaga iman Islam kita. Untuk mengapresiasi betapa pentingnya  petunjuk  Allah tentang sunnatullah ini, ada baiknya jika kita  lebih dahulu merujuk   ayat Al Qur’an berikut ini :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
(Q, Al .Alaq, 96 : 1-5)
            Ayat Al ‘Alaq 1-5 merupakan ayat pertama kalinya Nabi SAW. menerrima wahyu. Manurut riwayat dia memastikan kepada Malaikat Jibril, bahwa dia tidak bisa membaca. Oleh karena itu, kebanyakan para Ulama berkeyakinan bahwa kata “bacalah” di dalam ayat ini tidak menyodorkan secarik naskah dihadapan Rasul Allah.  Para  cendikiawan Muslim abad pertengahan, seperti Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa seluruh alam ini merupakan Kitab Allah Yang Maha Besar dan Maha Luas, yang dapat dibaca (dipelajari). Dan dari padanya Sunnah Allah  (sunnatullah) yang mengatur seluruh komponen-komponennya mencakup seluruh komponen alam dan social  diciptakan Allah menurut kehendakNya, sehingga alam dan kehidupan social ini dapat berjalan sangat teratur dan tetap. Para Ulama mengidentifikasi  sunnatullah tentang  komponen kehidupan social dan natural dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu : (a) Qodlo-qadar kauniyah, dan (b) Qodlo –qadar syar’iyah. Yang tahu persis  tentang qodlo hanyalah Allah SWT. Berkenaan sikap kita terhadap  qadar kauniyah mensyaratkan ikhtiari manusia semaksimal kemampuan kita, sedang qadar syar’iyah, ikhtiari  kita harus kita  tempatkan dalam bentuk ketha’atan  kita kepada aturan Allah SWT. Sebagian qadar kauniyah  kita  warisi dalam bentuk IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang akan kita peroleh  melalui proses pewarisan hasil penelitian dan pendidikan “umum” tentang ciptaan Allah SWT. tanpa henti, sejak umat manusia ada sampai sekarang.

1.1 Karakteristik Sunnatullah
Coba kita camkan makna pentingnya IPTEK Kauniyah, melalui firman Allah pada surat Al Mulk 3-4 berikut ini.
3. (Dia, Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat, sesuatu yang tidak seimbang ?
4. kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun (berada) dalam keadaan payah.
(Q, Al Mulk, 67 : 3-4)

            Dengan dasar ayat tersebut, maka Sunnah (aturan, hukum) Allah itu dapat dikelompokkan atas dua setting, yaitu : (1) Setting I : adalah Sunnatullah Kauniyah, berupa aturan atau hukum yang berlaku menyertai ciptaanNya di alam  dan kehidupan natural dan social ini, dan (2) Setting II : adalah  Sunnatullah Qauliyah, berupa aturan atau hukum  yang berlaku menyertai ciptaanNya di alam dan kehidupan social melalui firman Allah dan Sunnah Rasul.
            Sunnatullah sebagaimana ditegaskan oleh Allah melalui wahyunya dalam Al Qur’an memiliki ciri sebagai berikut :


(1). Bersifat Eksak , Berukuran dan  Tetap dan Tertentu.
Prinsip ini mengacu pada informasi wahyu Al Furqaan, 25 : 1-2  dan Ath Thaalaaq, 65 : 3,  sebagai  berikut :
(a) Sunnatullah Kauniyah : Hukum Alam
1.     Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hambaNya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
2.     Yang kepunyaanNya lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya  dalam kekuasaanNya, dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (sedetail-detailnya)
(Q, Al Furqaan, 25 : 1-2)



(b) Sunnatullah Kauniyah : Hukum Alam Sosial-Ekonomi

3.     Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan (ukuran dan ketetapan) bagi tiap-tiap sesuatu.
(Q, Ath Thalaaq, 65 ; 3)

            Dengan mengacu pada tiga ayat tersebut diatas dapat ditarik pelajaran penting bahwa berlakunya Sunnatullah adalah :
a. Bersifat tetap, karena telah ditetapkan sejak awal penciptaannya.
b. Berukuran secara rapi dan sangat rinci.
c. Memiliki ketentuan  Allah SWT.  (qodlo) tentang  berlakunya hukum alam atau hukum social tersebut.
d. Menjadi pelajaran (pengetahuan) yang dapat digunakan oleh seluruh alam (baik Islam maupun kafir).

(2) Tidak Berubah-ubah
Prinsip ini mengacu pada informasi wahyu Al An’am, 6 : 115  dan Al Israa’, 17 : 73 dan 77,  sebagai  berikut :

(a) Sunnatullah Qauliyah
115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an) sebagai kalimat (pelajaran) yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat (mampu) merobah-robah kalimat-kalimatNya dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(Q, Al An’aam, 6 : 115)

(b) Sunnatullah Sosial
73. Dan sesungguhnya mereka (orang kafir)  itu hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu, tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia
77. Sebagai suatu sunnah terhadap Rasul-Rasul Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi sunnah kami itu.
(Q, Al Israa’, 17 : 73 dan 77)

            Dari acuan firman Allah dalam  Al Qur’an diatas, kita dapat mengetahui bahkan meyakini bahwa hukum Allah(sunnatullah)  itu tidak bisa ditawar-tawar, sehingga dikatakan juga “ hukum besi” yang berlaku secara obyektif. Dalam hal ini sunnatullah itu akan terjadi, baik kita suka maupun terpaksa, mengacu firmanNya :
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya lah berserah diri segala apa yang (ada) di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan
(Q, Ali ‘Imran, 3 : 83)

(3) Obyektif
Prinsip ini mengacu pada informasi wahyu Al Anbiyaa’ 105 -107,  sebagai  berikut :
105. Dan sungguh telah Kami tulis dalam Kitab Zabur setelah (tertulis) dalam Adzikri 
(Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba Ku yang shaleh.
106. Sungguh di dalam (Al Qur’an) ini, benar-benar menjadi petunjuk bagi orang-orang yang menyembah Allah.
107. Dan Kami tidak mengutus Engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rakhmat bagi seluruh alam.
(Q, Al Anbiyaa’, 21 : 105-107)

            Mengacu Al Anbiyaa’, 105 -107 orang-orang shaleh dinyatakan oleh Allah SWT sebagai  sebagai pewaris dalam arti sebagai pemakmur bumi sebagaimana petunjuk Allah pada Surat Huud, 11 : 61 berikut :
Dan kepada Tsamud (Allah mengutus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata : Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan  selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dsukses di duban menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunanNya, kemudian bertobatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi memperkenankan.
(Q, Huud, 11 : 61).

            Untuk menjadi pemakmur bumi yang berhasil, maka amal shaleh yang dimaksud, disamping ikhlas dan sabar,  juga  memenuhi petunjuk sunnatullah  qauliyah, juga harus mengikuti pedoman sunnatullah kauniyah.  Sunnatullah kauniyah dan sunnatullah qauliyah tentulah merupakan ruang petunjuk yang harus kita pakai sebagai pedoman hidup kalau kita  berharap sukses dalam memakmurkan bumi sekaligus juga sukses hidup  di surganya Allah di akhirat. Sunnatullah kauniyah sebagaian telah tertuang dalam wahyu Al Qur’an. Hanya saja bersifat pokok-pokok  saja, sebagai ayat-ayat Muhkamat. Ada beberapa prinsip pokok yang mendasari sunnatullah yang selanjutnya menjadi acuan  pengembangan IPTEK bagi orang beriman sebagaimana ditunjukkan pada  Surat Al A’laa, 87 : 1 -5 berikut :
1.     Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Paling Tinggi;
2.     Yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaanNya);
3.     Dan Yang menentukan ukuran(qadar)(ciotaanNya)dan member petunjuk (arahan);
4.     Dan Yang menumbuhkan rumput-rumputan;
5.     Lalu dijadikanNya rumput-rumput itu kering-kehitam-hitaman.
(Q, Al A’laa, 87 : 1-5).
           
Petunjuk ayat tersebut sejalan dengan  prinsip umum yang diterima oleh para Ilmuwan, (Perlman, Science Without Limits, 1995 dan Horgan, The End of Science, 1997) sekaligus mengacu  pada petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, terdapat  prinsip  pengembangan IPTEK pemberdayaan Mustahik berbasis sunnatullah sebagai berikut  :

1.  Prinsip pertama : bahwa sunnatullah adalah kita yakini sebagai   ciptaan Allah SWT, yang  berukuran, tidak berubah-ubah dan obyektif.
2.     Prinsip kedua : ada tatanan alam yang teratur di dunia , baik natural maupun sosial. Kata  Einstein, bahwa Tuhan  menciptakan alam ini  bukan seperti melempar dadu.
3.     Prinsip ketiga : merupakan pendekatan ilmiah ketiga, yaitu bahwa  dunia ini adalah tertata menurut ukuran (qadar kauniyah)  tertentu secara matematis , baik  geometrik, aljabar maupun statistic.
4.  Prinsip keempat : bahwa tatanan natural maupun social bersifat sederhana mengikuti prinsip  parsimony, tidak rumit dan bersifat global.
5.  Prinsip kelima : merupakan pendekatan ilmiah kelima, yaitu  bahwa keberadaan dunia natural maupun social  mengikuti prinsip kausalitas qadar kauniyah (segala sesuatu memiliki ukuran dan terjadi menurut sebabnya, Qur’an, Al Kahfi, 18 :84-85).
6.    Prinsip keenam :  prinsip adanya perubahan  (Q, Ar Ra’d, 13: 11) yang diarahkan oleh  Allah SWT. merupakan prinsip keberadaan fenomena natural maupun social yang keenam. Contah  air bisa berubah menjadi padat ketika suhu nol derajad, atau menjadi uap ketika suhunya 100 derajad. Rumput yang hijau menjadi hitam pada tingkat kekeringan  tertentu.
7.   Prinsip ketujuh :  adanya kesatuan alam dasar, kita yakini karena alam natural maupun social diciptakan oleh Allah Yang Maha Esa (Satu). Rumput yang hijau menjadi hitam dalam satu keadaan.
8.    Prinsip kedelapan :  adanya fenomena paradox, seperti perilaku natural dan social pada kondisi tertentu memiliki perilaku kontnyuitas namun pada kondisi tertentu lainnya  memiliki perilaku diskontinyuitas (deskrit). Atau kondisi deterministic (matematis)  versus probabilitas (statistic). Dan selanjutnya antara rumput yang hijau kemudian menjadi warna hitam (Ingat riwayat paradoks, pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa,  Al Kahfi, 18 : 60 -82)
            Dengan dasar delapan prinsip sunnatullah qadar kauniyah  tersebut, sunnatullah yang tersedia dalam ayat qauliyah dan kauniyah  akan dapat dijelaskan fenomenanya di alam,  untuk selanjutnya dapat disusun menjadi dasar mengembangkan IPTEK berbasis sunnatulllah. Berikut informasi  global tentang adanya sunnatullah di alam jagat raya ini.
4.     Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun (informasi) yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit
7. Dia lah yang  menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayt yang muhkamaat; itulah pokok-pokok isi Al Qur’an; dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat
(Q, Ali Imran, 3 : 4 dan 7).
Sebagai misal lain, ayat muhkamaat  berikut :
6. Dan apabila lautan dipanaskan (suhu naik)
14. Maka tiap-tiap jiwa (manusia0  akan mengetahui (menyadari) apa yang telah dikerjakannya.
(Q, At Takwir, 81 : 6 dan 14)

6. Bintang-bintang dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepanya.
7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan (dalam keadaan) seimbang.
8. Agar kamu (manusia) jangan melampau batas keseimbangan itu.
(Q, Ar Rahman, 55 : 6-8)

            Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa  telah terjadi ketidakseimbangan CO (emisi carbon) setelah lebih dari 50 tahun (ada time respon puluhan tahun) , sebagai akibat kemajuan penggunaan teknologi industrilisasi yang  telah menghasilkan dampak polusi udara yang menimbulkan pemanasan bumi, yang berlanjut ke pemanasan laut, yang berdampak pada kehidupan biota di laut , juga hujan asam, karena perilaku merusak yang dilakukan oleh manusia (industry). Saat ini akibat tersebut telah terasa dalam keseharian kita berupa “perubahan iklim global”, termasuk semakin naiknya tinggi permukaan laut kita. Tentu saja untuk mendalami hubungan sebab-akibat tersebut adalah merupakan temuan IPTEK yang dilakukan oleh para ilmuwan. Hukum alam tersebut bersifat objektif dan berlaku pada alam, kita suka atau tidak suka. Ini contoh kecil tentang sunnatullah kauniyah. Allah SWT. telah menyediakan alam ciptaannya untuk kita kaji dan kita pelajari, kemudian menghasilkan IPTEK dengan time response yang panjang (setelah puluhan tahun).


1.2. Sunnatullah Qauliyah : Tentang Lingkungan Sosial
            Contoh lain adalah sunnatullah lingkungan social yang diwahyukan dalam surat An Nur ayat 58  dan 59 yang menganjurkan bahwa setiap orang tua mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umur, agar meminta izin  setiap kali akan memasuki kamar tidur orang tua mereka pada tiga waktu yang dinilai sebagai aurat bagi setiap manusia.
58. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izihendaklah mereka meminta izinn kepada kamu tiga kali (waktu), yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari dan sesudah shalat isya’. Itulah tiga aurat bagi kamu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha  Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
59. Dan apabila anak-anakmua telah sampai umur balig, maka mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meinta izin.  Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Q, An Nur, 24 : 58 – 59)
            Kedua ayat pada Surat An Nur itu sangat penting untuk diperhatikan oleh para orang tua yang memiliki anak dibawah umur.  Ayat ini jelas melarang kita tidur satu kamar bersama anak dibawah umur ini, suatu kebiasaan yang mungkin masih banyak dilanggar oleh  banyak keluarga Muslim. Tiga waktu yang dikatakan “aurat bagimu” itu jelas merupakan  waktu tidur sebagian kita, yaitu sesudah isya, sebelum subuh dan sesudah shalat dzuhur.
            Jika sunnatullah ini dilanggar, akibatnya baru terlihat setelah anak itu menjelang dewasa nanti. Mereka berkecenderungan akan tumbuh sebagai anak yang kurang percaya diri dan agak sukar baginya untuk mandiri, baik dalam sikap maupun mengambil keputusan penting di dalam hidupnya. Akibat dari pelanggaran sunnatullah social ini membutuhkan waktu setelah anak itu menjelang dewasa (puluhan tahun kemudian) , maka diperlukan iman di dalam menghayati dan mengamalkannya. Ini bentuk time response yang panjang tersebut. Sunnatullah semisal yang diwahyukan tersebut  dapat dimasukkan ke dalam hukum soaial dan atau hukum sejarah.
            Pada saat ini hampir banyak ahli social menganggap hukum-hukum yang berkenaan dengan  perilaku social tidak termasuk hukum yang pasti. Oleh karena itu, mereka, ahli social ini berusaha memisahkan ilmu social dari ilmu alam dan matematika. Mereka mengatakan ilmu social itu tidak eksaks. Menurut Al Qur’an, ilmu social itu  tergolong eksaks. Namun variable (peubahnya)  sangat banyak dan saling terkait (sistemik), yaitu sama banyaknya dengan jumlah manusia di dunia ini dikalikan dengan segala macam keinginan mereka, sehingga sangat sukar diperkirakan  keterkaitan (korelasi) dan hubungan sebab-akibatnya antara variable yang satu dengan lainnya.
            Mereka yang mengatakan hukum-hukum social yang universal dan obyektif itu tidak eksaks, pada dasarnya karena kegagalan mereka menemukan hubungan antar variable yang sangat banyak tersebut. Tetapi dengan majunya ilmu statistic sesudah mendapat bantuan computer sekarang ini, dapat dibuktikan betapa anggapan para pakar ilmu social selama ini bahwa ilmu perilaku manusia tidak eksaks adalah tidak benar. Dengan bantuan computer kita bisa membuktikan  system keterkaitan hukum-hukum social yang obyektif dan universal tersebut adalah eksaks. Hal ini dapat dibuktikan terutama jika sampel (contoh) yang diambil cukup besar dengan menggunakan model persamaan dengan pendekatan system.
            Dengan demikian, IPTEK bagi umat Islam jika dipahami benar-benar akan menambah teguhnya iman serta merupakan rakhmat Allah SWT. yang tidak terbilang nilainya. Hanya orang-orang yang belum sampai kajiannya sajalah yang masih meragukan dan bahkan mencurigai kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga tanpa sadar mereka telah menjauhkan diri dari kemajuan ilmu pengetahuan. Sunnatullah kauniyah yang digali dan dipahamkan langsung dari ayat-ayat Al Qur’an, justeru membuka pintu, bahkan  memacu kemajuan ilmu pengetahuan (IPTEK) dan akal manusia dengan mempersilahkan setiap umat Islam, khususnya para ilmuwannya,  untuk membangkitkan kembali kemajuan dan pemahaman ilmu pengetahuan yang benar seperti yang ditunjukkan dalam Al Qur’an kesimpulannya (Bucaile).
            Oleh karena itu,  kita tidak perlu terheran-heran, ketika kita menyaksikan temuan baru dalam bidang IPTEK sampai saat ini senantiasa menambah bukti ilmiah akan kebenaran yang difirmankan Allah SWT. dalam Al Qur’an. Oleh karena itu dengan dasar uraian tersebut diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa  beramal shaleh  sebagai kata kunci  perintah Allah SWT. untuk beribadah kepada Allah SWT. dalam wujud memakmurkan bumi,  hendaknya didasarkan pada sunnatullah, yaitu sebuah hasil karya iman dan  ilmu pengetahuan yang bermanfaat, khususnya  yang berlandaskan  sunnatullah qauliyah maupun kauniyah.
            Tanpa iman dan ilmu pengetahuan berbasis  sunnatullah qauliyah (firman Allah, Al Qur’an)  yang memadai, hampir tidak mungkin kita membayangkan sukses dunia dan akhirat  dalam beramal shaleh secara menyeluruh dan efektif, terutama berbasis pada sunnatullah yang diwahyukan. Kewajiban belajar untuk kebahagiaan dunia dan akhirat bagi  kaum beriman adalah merupakan kewajiban seumur hidup, sampai liang lahad.

1.3  Sunnatullah Untuk Sukses Pemberdayaan Sosial
            Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya kegiatan social  dalam dimensi waktu yang tidak pendek. Banyak aspek yang terkait, baik social, ekonomi dan  spiritual. Untuk meraih sukses tersebut, berikut disajikan  panduan sukses mengacu firman  Al Mukminun 1- 11 berikut ini.

1.Sungguh akan meraih sukses orang-orang yang beriman.
2. (yaitu) orang-orang yang khusu’ shalatnya.
3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (amalan, perbuatan) yang tidak berguna.
4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat.
5. Dan orang-orang  yang menjaga seksnya.
------------------------------------------------------------
8. Dan orang-orang yang menjaga amanat-amanat dan janjinya.
9. Dan orang-orang yang menjaga shalatnya.
10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (sukses hidup dunia dan akhirat).
11. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaos. Mereka kekal di dalamnya.
(Q, Al Mukminun, 23 : 1-11)

Di dalam praktik, sunnatullah yang ditemukan para saintist itu selalu melalui observasi lapang (social) dan eksperimen. Dengan  penelitian tersebut kadang-kadang seorang  saintist berhasil menemukan apa yang diharapkannya, namun tidak jarang pula berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan, bahkan tidak jarang para saintist tersebut menemukan suatu fenomena tanpa disangka-sangka. Tidak jarang, bahkan menghadapi kegagalan sekaligus meminta korban berupa kerugian materi, bahkan jiwa.
           Dengan pengertian amal shaleh yang  seharusnya merupakan amal yang berlandasan sunnatullah qauliyah  atau kauniyah, maka dapat dipahami mengapa Allah menjanjikan bagi yang beriman dan beramal shaleh ampunan.

29. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.
(Q, Al Fath, 48 ; 29)

         Ayat tersebut memberikan landasan berfikir, bahwa beramal shaleh dengan basis sunnatullah qauliyah maupun kuniyah memerlukan usaha yang selalu dihadang kegagalan dan kekhilafan (error). Demi mengatasi rasa takut tersebut, Allah SWT. telah menjanjikan ampunan terlebih dahulu. Ini berarti, seorang mukmin sebagai “saintist dan teknolog” tidak perlu bimbang dalam melakaukan kajian sunnatullah  fenomena alam maupun social, karena seandainya mereka  menghadapi kekeliruan akademik dalam hasil kajiannya, Allah SWT, telah berjanji akan memberikan ampunannya. Hal inilah yang telah mendorong para Ulama kita beberapa generasi  sesudah Rasul  Allah untuk belajar dan meneliti secara gigih dan penuh gairah. Mereka mencerna semua ilmu kauniyah maupun qauliyah yang tersimpan di dalam perpustakaan kuna dari segala bangsa, mereka meneliti tabiat alam  (kesehatan) yang membentang di depan mereka, seperti yang dilakukan oleh Ibn Sina, juga tabiat social, seperti yang dilakukan oleh Ibn Khaldun. Mereka menjadi pelopor di bidangnya masing-masing  untuk mengisi peradaban madani di dalam hampir semua bidan kehidupan dan ilmu  yang dikatakan ilmu modern saat ini. Mereka tidak saja  gigih dalam mengembangkan Ilmu Fikih dan Ilmu  Aqidah, tapi juga gigih mengembangkan ilmu pengetahuan segala bidang ilmu kauniyah  pada zamannya.  Dengan demikian, kalau kita ingin memangku  kembali kemajuan peradaban madani yang sempat kita bangun pada abad pertengahan, maka kita perlu melakukan sesuatu, yaitu  mencontoh Ulama/Ilmuwan generasi awal  pembentuk peradaban Islam abad pertengahan tersebut.
Menurut Ibn Khaldun, salah satu sebab penting terkait dengan perolehan rezeki seseorang  adalah keahlian, tentu juga termasuk modal. Dalam abad modern ini, faktor modal terkadang diwakili oleh teknologi. Adapun bagi kita orang beriman, disamping  (a) aspek rasional, yaitu faktor keahlian, modal dan teknologi, juga (b) aspek spiritual yaitu factor kejujuran (amanah) (Al Mukminun, 23 : 8), disiplin kerja/ ibadah (khusu’, Al Mukminun, 23 : 2), Al Ashr, 103 : 1-3) dan pandai bergaul (Al Mukminun, 23 : 3, silaturahmi, Hadist Nabi SAW) (mengacu hasil penelitian manusia sukses sedunia) , tawakkaal atas rahmat Allah. Dengan dasar pengetahuan kita berkenaan dengan sebab yang mendatangkan rezeki tersebut, selanjutnya secara matematis, factor sukses rezeki yang harus dididikkan kepada penyadaran  spiritual para peserta Pemberdayaan Ekonomi Mustahik dapat dinyatakan dengan persamaan sunnatullah pengukuran secara statistic adalah menggunakan persamaan matematik stochastic sebagai  berikut, yaitu :

Perolehan Rezeki = f (KJ. DK,PB,KH,M,T, R) , dimana :
f = fungsi
KJ = Kejujuran,
DK = Disiplin Kerja/ Ibadah,
PB = Pandai Bergaul (Silaturahmi),
KH = Keahlian,
M = Modal,
T = Teknologi dan
R = Doa Memohon Rakhmat Allah).


2. Kemitraan Penanggulangtan Kemiskinan Antara Pemerintah  dan BAZNAS/LAZ

         Untuk merumuskan format kemitraan antara pemerintah dan BAZNAS/LAZ mengacu UU Pengelolaan Zakat tahun 2011 kita memerlukan argument pijakan rasional, diantaranya sebagai berikut :
(1)  Pertimbangan pertama : zakat adalah bukan pajak. Jika pajak adalah  Negara mengelola dan mengarahkan penggunaannya, sedangkan zakat adalah Hak Mustahik (At Taubah 60 : 8 asnaf yang berhak).
(2)  Pertimbangan kedua :  Mustahik akat sangat jelas, yaitu mengikuti petunjuk Allah SWT, At Taubah 60, yaitu ada delapan pihak, yaitu masyarakat : (a) Fakir, (b) Miskin, (3) Amil, (4) Muallaf, (5) memerdekakan Budak, (6) terlilih hutang, (7) fie-sabilillah, dan (8) anak jalanan (Ibnus Sabil).
(3)  Kesepakatan Ulama yang paling aman menetapkan hak amil sebesar 12,5% (1/8 bagian). Sementara itu, pengalaman pengelolaan ZIS yang efisien dan efektif serta professional, biaya operasional mencapai 30% dari dari hasil pengumpulan ZIS. Untuk mengatasi kekurangan  biaya dari sumber zakat ditempuh solusi anggaran dari dana pengumpulan infak dan shadaqah sebesar 17,5 %. Jika dalam ketentuan UU Pengelolaan zakat yang baru dimungkinkan ada alokasi dana dari APBN/APBD, besarnya tentu saja sekitar 17,5% dari jumlah penerimaan ZIS. Jumlah tersebut telah menjadi kesepakatan DPR dengan kompensasi tugas BAZNAS/LAZ ditetapkan secara eksplisit ikut menanggulangi kemiskinan sebagaimana tugas tersebut secara ekplisit tertuang dalam l Qur’an, At Taubah 60, disamping tugas tersebut adalah merupakan  kewajiban Negara Madani yang pertama dan utama.  Pembebanan  anggaran BAZNAS/LAZ sebagian dari sumber APBN/APBD akan memastikan tugas BAZNAS/LAZ, yaitu : (a) komitmen pada penanggulangan kemiskinan, (b) ada kemenagan Negara untuk mengawasi jalannya BAZNAS/LAZ, dan (c) ada kewajiban BAZNAS/LAZ untuk melaporkan  perkembangan pemberdayaan masyarakat miskin pada Negara.
(4)   Dengan dasar pertimbangan kontribusi masing-masing pihak antara kontribusi pemerintah dan hak Mustahik tersebut, maka pilihan peran dalam struktur co-managemen (kemitraan) yang adil  adalah pada posisi Co-managemen Advokatif, dimana :
(a)   Pemerintah (kontribusi 17,5%)  berperan utama sebagai fasilitator penanggulangan kemiskinan.
(b)  BAZNAS/LAZ (kontribusi 87,5%)  sebagai mewakili HAK MUSTAHIK  berperan sebagai motor penggerak kemandirian Mustahik. Kita menyadari bahwa baik BAZNAS maupun LAZ adalah pemegang amanah “HAK MUSTAHIK”.
(5)  Haruslah kita sadari juga  bahwa dana zakat, disamping mengandung aspek material (pertumbuhan ekonomi), juga mengandung aspek spriritual (mensucikan hati).
(6)  Dibalik itu semua, kita sadari bahwa Pengawas yang paling harus kita takuti dan kita taati adalah Pengawasan Allah SWT. Kita harus super hati-hati, BAZNAS maupun LAZ tidak cukup bekerja atas dasar prinsip managemen transparan, adil, pemerataan dan berbagai prinsip kerja yang telah tertuang  sebagai “jargon managemen” dalam UU Pengelolaan Zakat 2011. Jargon tersebut disadari tidak akan punya arti apa-apa, tanpa kita meyakini pengawasan Allah SWT yang melekat dan tidak pernah lengah setiap saat.
(7)  Kita, pengelola BAZNAS/LAZ sesuai UU Zakat 2011, sedang memasuki “ujian besar” untuk melaksanakan amanah Allah SWT.
            Dalam kaitan dengan  kesiapan mental BAZNAS/LAZ dalam  mendayung pengelolaan zakat ke depan, berikut sedikit pesan dari Ibnu Qayyim, tentang pentingnya kemampuan membedakan antara  : (a) harapan versus angan-angan, dan (b) percaya diri versus terkecoh.

(a). Harapan versus angan-angan.
          Menurut Ibn Qayyim perbedaan antara harapan dan angan-angan, bahwa harapan disertai dengan usaha dan pengerahan kemampuan dalam mendapatkan sebab-sebab keberhasilan (keberuntungan) dan hasil yang diinginkan. Sedangkan angan-angan hanyalah sekedar lintasan di dalam jiwa dengan mengabaikan sebab-sebab (sunnatullah) yang menghantarkan kepada tujuan. Kita jangan tertipu dan terkecoh dengan berkata : “Sesungguhnya orang-orang yang menyia-nyiakan perintah Allah, mengerjakan laranganNya, mengikuti apa yang membuat Allah murka dan menjauhi apa yang membuat Allah ridha (mengikuti sunnatullah), adalah mereka juga akan mendapat rakhmat Allah”. Kata Ibnu Qayyim, pernyataan tersebut adalah bentuk angan-angan yang sangat nyata mengecoh kita. , Harapan adalah milik hamba yang hatinya dipenuhi dengan iman kepada Allah (sunnatullah) dan hari akhirat. Diantara tanda harapan yang benar ialah bahwa pelakunya adalah takut kehilangan surga dan gagal karena bekerja diluar jalur sunnatullah.

(b). Percaya diri versus terkecoh.
           Menurut Ibn Qayyim, perbedaan antara percaya diri dan terkecoh adalah bahwa percaya diri ditandai oleh tindakan yang  dilandaskan kepada bukti-bukti  dan tanda-tanda yang membuat hati menjadi tenang. Jika tanda-tanda itu semakin kuat, maka rasa percaya diri inipun semakin kuat pula, apalagi bila ditunjang dengan banyak pengalaman, kebenaran firasat dan keyakinan. Sedangkan terkecoh adalah keadaan orang yang tertipu oleh jiwa, hawa nafsu amarah yang palsu terhadap Allah dengan berbagai macam angan-angan. Semoga kita dijauhkan dari sifat yang demikian.

3. Memakmurkan  Masjid
        Kita menyadari betapa seyogianya peran Masjid  yang benar-benar menjadi pusat kegiatan peribadatan  apapun bentuknya. Hanya saja  kita banyak menghadpi kenyataan pengelolaan masjid tidak seperti yang kita harapkan bersama. Ini tantangan kita. Yang jelas, kaitannya dengan pengelolaan zakat ini, posisi masjid adalah sangat penting dan harus mendapat perhatian khusus. Kita perhatikan  petunjuk Al Qur’an , At Taubah 18 berikut ini.

18. Yang memakmurkan masjid Allah hanyalah :
(1) orang-orang yang beriman kepada Allah;
(2) dan hari akhirat;
(3) menegakkan shalat;
(4) menunaikan zakat;
(5)tidak takut kecuali kepada Allah;
(6) merekalah orang-orang diharapkan  termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
(Q, At Taubah, 18)
         
Dengan dasar petunjuk tersebut, sangat jelas, tanggung jawab kita bersama dalam mengelola penyaluran hak Mustahik  agar sampai kepada yang berhak menerimanya adalah berbasis di tempat terdekat dengan Mustahik, yaitu Masjid. Saat ini banyak BAZ/LAZ berada di tempat jauh dari Masjid.
Untuk mengawal konsistensi peribatan kita, maka Peraturan Pemerintah harus memastikan tentang  tempat penyaluran tersebut. Di Negara kita, mungkin tidak kurang  dari 1 juta masjid yang tersebar di seluruh pelosok. Kalau kita bersedia mengacu pada  pendekatan ekonomi kelembagaan, dalam hal ini  kelembagaan ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan, maka  posisi masjid  sebagai lembaga penyalur untuk pemberdayaan Mustahik adalah yang paling efisien dan paling efektif. Tentu saja memerlukan persiapan dan pengaturan yang cermat dengan tahapan kerja, misalnya  :
(a)  Dimulai dengan  identifikasi kualifikasi, kalau perlu dilakukan sertifikasi  masjid di segala pelosok Negara,
(b)  Kemudian  penugasan masjid untuk menyediakan  data base  Mustahik secara akurat,
(c) Selanjutnya dipersiapkan SDM masjid yang mumpuni untuk pemberdayaan masyarakat. Masjid secara nyata adalah salah satu bentuk kantor kerja yang layak.
           Dalam kaitan ini mari kita renungkan pesan Ibn Qayyim dalam hubungannya  dengan mengukur dasar pandangan kita, ketika kita memutuskan pilihan dalam melaksanakan amanah Allah, yaitu kemampuan membedakan antara  ketaatan kita pada hukum yang didasarkan pada  petunjuk yang diturunkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah  yang wajib diikuti versus atas dasar hukum yang menakwili. Adapun hukum yang menakwili adalah perkataan para Mujtahid yang beraneka ragam dan berbeda-beda yang tidak harus diikuti.
           Kaitannya dengan pengelolaan untuk penyaluran zakat agar tetap menggunakan dengan sasaran untuk Mustahik, maka Peraturan Pemerintah   menggariskian apa yang harus dilakukan oleh Pebngurus Masjid   berkenaan dengan pelaksanaan  UU Zakat tersebut. Pekerjaan ini mungkin tidak mudah, tapi sesuai dengan petunjuk Allah dalam Al Qur,an dan  ketentuan UU Zakat yang baru ini, menteri Agama memiliki peluang besar untuk menjadikan Masjid seperti yang ditunjuki oleh Allah SWT.
  Dengan  dasar pemikiran tersebut diatas, maka pekerjaan mulia BAZNAS dan LAZ adalah memberdayakan tidak kurang  satu juta Masjid seluruh Indonesia dalam satu program pemberdayaan ekonomi Mustahik secara simultan dan bertahap, yaitu setiap Masjid qualified harus dipersiapakan (diberdayakan) untuk melakukan :
(a)   Menyusun data base Mustahik di sekitar masjidnya.
(b)  Membuat program pelatihan Pendamping untuk pemberdayaan usaha produktif Mustahik.
(c)   Membuat pelatihan pengembangan usaha produktif untuk menanggulangi kemiskinan  Mustahik.
(d)  Menerapkan managemen tranparansi dan pengawasan melekat oleh Muzaki setempat  dari kalangan jamaah Masjid.
(e)  Setiap Masjid yang ditunjuk sebagai Unit Pelksana Penyaluran Hak Mustahik, seyogianya juga ditetapkan memiliki hak mengumpulkan Zakat oleh BAZNAS di lingkungan Masjidnya masing-masing.
(f)   Dipersiapkan hubungan adminisr\trasi antara BAZNAS/LAZ dengan Masjid yang ditunjuk sebagai Unit Pelaksana Penyaluran Hak Mustahik, secara bertahap menerapkan Sistem  Informasi Managemen Pemberdayaan Masyarakat Miskin / Mustahik  berbasis Teknologi Informasi mengacu prinsip qadar kauniyah.

0 komentar:

Posting Komentar